fenomena kebebasan pers masa orde baru dan reformasi
fenomena kebebasan pers masa orde baru dan reformasi
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Secara sederhana, demokrasi bisa
didefinisikan sebagai kekuasaan di tangan rakyat, atau kekuasaan oleh rakyat.
Selain itu, demokrasi mempunyai dua aspek, yaitu aspek prosedural dan aspek
substantif. Demokrasi dalam aspek prosedural mencoba menjawab masalah tentang
bagaimana rakyat bisa ikut memerintah dan mengawasi pemerintah, seperti memilih
pemimpin nasional dan wakil-wakil rakyat dalam pemilihan umum, proses
pengambilan keputusan dalam kebijakan publik, mekanisme pengawasan efektif
terhadap pemerintah, parlemen, yudikatif dan sebagainya. Demokrasi dalam aspek
substantif menyentuh masalah apa saja yang bisa diatur oleh pemerintah.
Bolehkah pemerintah melakukan intervensi dalam urusan agama, sejauh mana
kebebasan berserikat dan kebebasan menyatakan pendapat bisa dijalankan
penduduk, sejauh mana pemerintah ikut campur dalam urusan pernikahan antar
warganya dan lain sebagainya. Para penganut teori substantif demokrasi,
umumnya, bersepakat bahwa pemerintah harus menjamin hak-hak dasar warganegara,
perlu mendapat jaminan dari pemerintah. Dalam konteks demokrasi di
negara-negara Barat, yang sangat ditekankan adalah perlindungan terhadap civil
liberties dan civil rights. Termasuk dalam kategori civil liberties, misalnya,
kebebasan beragama dan kebebasan menyatakan pendapat secara terbuka, termasuk
juga kebebasan pers.
Dalam hal ini kebebasan pers
mendapatkan perhatian untuk dijamin kebebasannya termasuk di Indonesia dari
masa ke masa. Sejak merdeka tahun 1945, Indonesia sudah beberapa kali mengalami
pergantian sistem pemerintahan. Tahun 1945 sampai 1965 dikenal dengan nama
sistem pemerintahan Orde Lama, yang mana merupakan era presiden Soekarno.
Setelah presiden Soekarno tumbang, tampung kekuasaan diserahkan kepada jenderal
Soeharto yang akhirnya melahirkan sistem pemerintahan Orde Baru. Orde Baru
berlangsung dari tahun 1966 sampai tahun 1998. Dikarenakan sudah terlalu lama
menjabat dan merajalelanya KKN, presiden Soeharto digulingkan oleh rakyat
Indonesia yang akhirnya melahirkan zaman baru bagi Indonesia, reformasi.
Reformasi berlangsung dari tahun 1998 sampai sekarang. Disinilah cikal bakal
munculnya kebebasan dalam hal berpendapat termasuk semakin diusungnya kebebasan
akan pers.
Perkembangan dan pertumbuhan media
massa atau pers di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari perkembangan dan
pertumbuhan sistem politik dinegara ini. Bahkan sistem pers di Indonesia
merupakan sub sistem dari sistem politik yang ada. Di negara dimana sistem
persnya mengikuti sistem politik yang ada maka pers cenderung bersikap dan
bertindak sebagai “balancer” (penyeimbang) antara kekuatan yang ada.
Sebagaimana yang diketahui bahwa
pers merupakan media komunikasi antar pelaku pembangunan demokrasi dan sarana
penyampaian informasi dari pemerintah kepada masyarakat maupun dari masyarakat
kepada pemerintah secara dua arah. Komunikasi ini diharapkan menimbulkan
pengetahuan, pengertian, persamaan persepsi dan partisipasi masyarakat sehingga
demokrasi dapat terlaksana. Sebagai lembaga sosial, pers adalah sebuah wadah
bagi proses input dalam sistem politik. Diantara tugasnya pers berkewajiban
membentuk kesamaan kepentingan antara masyarakat dan negara sehingga wajar
sekali apabila pers berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan kepentingan
pemerintah dan masyarakat. Untuk itu dibutuhkan keterbukaan pers untuk secara
baik dan benar dalam mengajukan kritik terhadap sasaran yang manapun sejauh hal
itu benar-benar berkaitan dengan proses input.
Seiring dengan perkembangan
peradaban, situasi kebebasan pers di Indonesia saat ini, bedanya seperti langit
dan bumi jika dibandingkan dengan situasi pada era Orde Baru. Dulu, ketika
Tommy Soeharto mengalami kecelakaan di sirkuit Sentul (waktu latihan), pers
tidak boleh mempublikasikannya karena berita seperti itu dikhawatirkan dapat
menjelekkan martabat keluarga Kepala Negara. Pembajakan pesawat Garuda Wyola
(1981) saja dilarang disiarkan oleh pers. Belakangan pers diziinkan menyiarkan,
tapi harus bersumber dari pemerintah. Sebuah pos polisi di Cicendo, Jawa Barat,
suatu hari diserang dan diobrak-abrik oleh sekelompok “orang bersenjata”.
Sementara pers mencium berita ini, tapi segera diancam oleh aparat keamanan
untuk tidak mempublikasikannya. Berita semacam ini, pada masa Orde Baru,
amatlah sensitif, karena menyangkut persoalan “stabilitas nasional”. Jangankan
bisnis anak-anak Pak Harto, bisnis petinggi pemerintah pun ketika itu
untouchable oleh pers. Selain itu, pers yang bandel dan tidak mengindahkan
“imbauan” pemerintah untuk tidak menyiarkan satu berita terancam breidel.
Berbeda dengan era reformasi,
kebebasan pers semakin diakui dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 40
tahun 1999 tentang Pers Pasal 2 yang
menandaskan bahwa ”Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat
yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum”.
Dengan klausul ini, jelas sekali bahwa pers memposisikan dirinya sebagai
pelaksana kedaulatan rakyat, atau “kepanjangan tangan rakyat”. Karena negara
ini milik rakyat, maka pers perlu diberikan kebebasan seluasnya untuk
melaksanakan amanat rakyat tadi.
Pada era reformasi ini, tidak ada
obyek, apakah itu perorangan, instansi pemerintah, pejabat Negara atau Presiden
sekali pun, yang tidak bisa disentuh dan dikecam oleh pers. Bahkan kejatuhan
Presiden Abdurrahman Wahid pun diyakini, sebagian adalah berkat kerja pers.
Betapa banyak kasus KKN yang dibongkar oleh pers, baik yang dilakukan pejabat
eksekutif, apalagi anggota legislatif. Betapa banyak perilaku buruk wakil
rakyat yang ditelanjangi pers. Ketika konflik etnis di Sampit pecah, pers
mengeksposnya habis-habisan. Sebuah penerbitan pers daerah pernah
mempublikasikan foto kepala seorang korban yang sudah lepas dari badannya
tatkala banyak santri NU yang dibunuh oleh “ninja-ninja” misterius. Kasus
dugaan korupsi Gubernur Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Abdullah Puteh, sudah
marak diungkap pers jauh sebelum aparat hukum melakukan penyidikan. Pada era
reformasi tiga “tembok pers” berhasil dirobohkan, kini tidak ada lagi lembaga
izin terbit, sensor dan breidel. Bahkan instansi pemerintah yang mengurus
ketiga “tembok pers” ini, yaitu Departemen Penerangan R.I sudah lenyap
dibubarkan oleh Presiden KH Abdurrahman Wahid. Kini siapa pun, termasuk
Presiden R.I tidak bisa menutup sebuah penerbitan pers. Pelaksanaan kebebasan
pers Indonesia dewasa ini mirip dengan kebebasan pers era tahun 1950-1959 yang
dikenal dengan sebutan era demokrasi liberal yang bercorak libertarian.
Dari fenomena-fenomena tentang
perjalanan kebebasan pers dari masa ke masa di Indonesia yang telah dijelaskan
di atas, memberikan kesan kepada khalayak publik tentang perbedaan pemberian
kebebasan pers di era Orde Baru dan era reformasi, yang pada gilirannya kita
mempunyai pandangan tentang efektifitas maupun batasan-batasan kebebasan pers
itu sendiri sehingga menimbulkan opini publik tentang baik buruknya pers dalam
mengawal perjalanan demokrasi di Indoensia. Olehnya itu berangkat dari
ilustrasi latar belakang di atas, kami tertarik untuk menulis makalah yang
berjudul Kebebasan Pers era Orde Baru dan era Reformasi.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah pada penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut :
- Bagaimana kebebasan Pers di era Orde Baru ?
- Bagaimana kebebasan Pers di era Reformasi ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pers dalam Sistem Hukum
Antara pers dan sistem hukum ada
keterkaitan yang erat sekali. Sistem hukum memberi peluang pers bertindak
didalam rambu-rambu yang sudah disepakati sehingga pers berada pada titik
ideal. Tanpa hukum, pers akan berkembang menjadi liberal.
Hukum dapat digunakan sebagai alat
legitimasi pemerintah untuk mengawasi pers. Misalnya Surat Izin Usaha
Penerbitan Pers (SIUPP). Bahwa UU pokok Pers pernah mengatur dan menjamin
kebebasan dalam menyiarkan pemberitaan, namun justru SIUPP (Permenpen No. 01/
Per/ Menpen 1984) menjadi alat membatasi kebebasan. Padahal, kedudukan SIUPP
lebih rendah daripada undang-undang. Justru SIUPP yang dijadikan alat
legitimasi.
Dalam perkembangannya penilaian atau
interpretasi tidak lagi mencerminkan kehidupan pers yang sehat, pers yang bebas
dan bertanggung jawab berada di tangan pemerintah. Maka pasal ini dianggap
“arogan” kerena pemerintah bisa secara sepihak membatalkan SIUPP.
Pada era Habibie, pemerintah
menganggap SIUPP bukan zamannya lagi dan sangat “memperkosa HAM”. Sehingga
SIUPP dicabut.
Masa eforia politik juga tidak
menyelesaikan masalah itu. Hubungannya dengan pemberitaan berkembang menjadi
trial by the press (pengadilan oleh pers). Trial by the press merupakan sebagai
berita atau tulisan dengan gambar tertuduh dalam suatu perkara pidana yang
memberi kesan bersalah. Hal ini melanggar asas praduga tak bersalah dan
menyulitkan tertuduh untuk memperoleh pemeriksaan pengadilan yang bebas dan
tidak berpihak.
Pada saat yang sama, muncul minimnya
self censhorsip media. Dengan kata lain, media lemah dalam mempertimbangkan
pakah pemberitaan itu layak dimunculkan dan sesuai dengan keinginan masyarakat
atau tidak. Ini yang diakibatkan orientasi pasar media begitu dominan dan
mengalahkan sisi idealnya.
B.
Kebebasan
Pers di era Orde Baru
Tidak bisa dipungkiri bahwa pers
memiliki peran yang sangat penting di suatu negara. Tanpa pers, tidak ada
informasi yang bisa tersalurkan baik dari rakyat ke pemerintahnya maupun
sebaliknya. Singkat kata, pers memiliki posisi tawar yang tidak bisa
diremehkan. Konsepsi Riswandha, mengatakan bahwa ada empat pilar pemelihara
persatuan bangsa, salah satunya adalah kaum intelektual atau pers. Pers
berfungsi sebagai pemikir dan penguji konsep-konsep yang diterapkan pada setiap
kebijakan.
Diawal kekuasaannya, rezim pemerintahan
Orde Baru menghadapi Indonesia yang traumatis. Suatu kondisi dimana kehidupan
ekonomi, politik, sosial, budaya serta psikologis rakyat yang baru tertimpa
prahara. Politik satu kata yang tepat ketika itu kemudian dijadikan formula
Orde Baru, yakni pemulihan atau normalisasi secepatnya harus dilakukan, jika
tidak kondisi bangsa akan kian berlarut-larut dalam ketidakpastian dan
pembangunan nasional akan semakin tertunda. Konsentrasi bangsa diarahkan untuk
pembangunan nasional. Hampir seluruh sektor dilibatkan serta seluruh segmen
masyarakat dikerahkan demi mensukseskan pembangunan nasional tersebut.
Pemerintah Orde Baru memprioritaskan trilogi pembangunannya yakni stabilitas,
pertumbuhan ekonomi dan pemerataan sebagai kata kunci yang saling berkait erat
serta sebagai bagian doktrin negara.
Sehingga dapat digambarkan bahwa
pada masa Orde Baru atau juga dikatakan pada era pembangunan, mungkin nasib
pers terlihat sangat mengkhawatirkan. Bagaiamana tidak, pers sebegitu rupanya
harus mematuhi rambu-rambu yang negara telorkan. Dan sejarah juga
memperlihatkan kepada kita bahwa adanya PWI (Persatuan Wartawan Indonesia)
tidak membawa perubahan yang bersifat signifikan pada pola represi itu. Yang
ada justru PWI dijadikan media yang turut menjadi boneka dari pemerintahan
rezim Orde Baru di tanah air pada masa itu.
Hal tersebut terlihat ketika
terjadinya pembredelan pada beberapa media massa nasional yang sempat nyaring
bunyinya. Ketika beberapa media nasional yang sempat dibredel oleh pemerintah,
PWI yang seharusnya menggugat justru memberi pernyataan dapat memahami atau
menyetujui keputusan yang sewenang-wenang itu. Lalu PWI pula justru
mengintruksikan kepada pemimpin redaksi agar memecat wartawannya yang bersuara
nyaring terhadap pemerintah.
Bagaimana tidak bahwa pada dasarnya
bagi suatu pemerintahan diktator, kebenaran merupakan bahaya baginya, sebab
kebenaran akan membuka seluruh jaringan manipulasinya. Berita-berita yang
berasal dari foto jurnalisme serta data dokumenter lainnya memang memiliki daya
yang sangat kuat. Misi pertama pers dalam suatu masyarakat yang demokratis atau
suatu masyarakat yang sedang berjuang untuk menjadi demokratis adalah
melaporkan fakta. Misi ini tidak akan mudah dilaksanakan dalam suatu situasi
ketidakadilan secara besar-besaran dan pembagian yang terpolarisasi.
Banyak pers yang khawatir bahwa
keberadaannya akan terancam di saat mereka tidak mengikuti sistem yang berlaku.
Oleh karena itu guna mempertahankan keberadaannya, pers tidak jarang memilih
jalan tengah. Cara inilah yang sering mendorong pers itu terpaksa harus
bersikap mendua terhadap suatu masalah yang berkaitan dengan kekuasaan. Dalam
kaitan ini pulalah banyak pers di negara berkembang yang pada umumnya termasuk
di Indonesia lebih suka mengutamakan konsep stabilitas politik nasional sebagai
acuan untuk kelangsungan hidup pers itu sendiri.
Disamping itu, bentuk lain dari
kekuasaan negara atas pers di tanah air pada era Orde Baru adalah munculnya
SIUPP yakni Surat Izin untuk Penerbitan Pers. Orde Baru sedemikian ketatnya
dalam hal pengawasan atas pers, karena mereka tidak menghendaki mana kala
pemerintahan menjadi terganggu akibat dari pemberitaan di media-media massa.
Sehingga fungsi pers sebagai transmisi informasi yang obyektif tidak dapat
dirasakan. Padahal dengan transmisi informasi yang ada diharapkan pers mampu
menjadi katalisator bagi perubahan politik atau pun sosial. Sementara pada masa
Orde Baru, fungsi katalisator itu sama sekali hilang. Hal ini seperti apa yang
disampaikan oleh Abar bahwa kebebasan pers waktu itu ternyata tidak berhasil
mendorong perubahan politik menuju suatu tatanan masyarakat yang demokratis,
tetapi justru mendorong resistensi dan represi negara. Hal ini merupakan suatu
hal yang sangat mendasar tentang sistem kepolitikan Orde Baru khsususnya
perlakuannya terhadap lembaga pers.
Akan tetapi, sesungguhnya pada masa
Orde Baru terdapat lembaga yang menaungi pers di Indonesia, yaitu Dewan Pers.
Sesuai Undang-Undang Pers Nomor 40 tahun 1999, dewan pers adalah lembaga
independen yang dibentuk sebagai bagian dari upaya untuk mengembangkan
kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional. Berdasarkan amanat
Undang-Undang, dewan pers meiliki 7 fungsi yaitu :
·
Melindungi
kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, bisa pemerintah dan juga masyarakat
·
Melakukan
pengkajian untuk pengembangan keidupan pers
·
Menetapkan
dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalis
·
Memberikan
pertimbangan dan pengupayaan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus yang
berhubungan dengan pemberitaan pers
·
Mengembangkan
komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah
·
Memfasilitasi
organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers dan meningkatkan
kualitas profesi wartawan
·
Mendata
persuahaan pers
Namun sangat disayangkan bahwa dewan
pers masa Orde Baru tidak melaksanakan fungsinya dengan efektif. Ironisnya,
dewan pers justru tidak melindungi rekan sesama jurnalis. Hal tersebut terlihat
saat peristiwa pembredelan media tahun 1994. Banyak anggota dewan pers yang
tidak meyetujui pemberedelan tersebut, namun dewan pers dipaksa menyetujui
langkah pemerintah tersebut. Tidak ada yang bisa dilakukan dewan pers selain
mematuhi instruksi pemerintah. Menolak sama artinya dengan melawan pemerintah.
Bisa disimpulkan keberadaan dewan pers masa orde baru hanya sebatas formalitas.
C.
Kebebasan
Pers di era Reformasi
Pada saat runtuhnya rezim orde baru
menghasilkan berbagi kelokan sejarah (ephipahy) politik yang cukup dramatis.
Hampir seluruh tatanan poltik mengalami perubahan yang cukup mendasar.
Undang-Undang politik, kehidupan berdemokrasi, dan produk-produk hukum
mengalami perubahan yang sulit diramalkan keajegannya.
Produk hukum pada era reformasi
tentang pers ini dapat dikatakan sebagai sapu jagatnya kemerdekaan pers
Indonesia, setelah sekian lama didera pembelengguan oleh rezim Orde Baru.
Dikatakan sebagai sapu jagat karena Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 menghapus
semua ketentuan represif yang pernah berlaku pada era Orde Baru, seperti:
·
Pasal 9 ayat
(2) Uundang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 meniadakan keharusan mengajukan SIUPP
untuk menerbitkan pers.
·
Pasal 4 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 menghilangkan ketentuan sensor dan
pembredelan pers.
·
Pasal 4 ayat
(2) juncto Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, melindungi
praktisi pers dengan mengancam hukum pidana dua tahun penjara atau denda Rp.
500 juta bagi yang menghambat kemerdekaan pers.
Selain menghapus berbagai kendala
kemerdekaan pers tersebut di atas, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 juga
memuat isi pokok sebagai berikut. Pertama, Pasal 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun
1999, kemerdekaan pers adalah perwujudan dari kedaulatan rakyat yang berasaskan
prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum dan kedua, Pasal 4 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, kemerdekaan pers adalah hak asasi warga
negara yang hakiki dan dalam rangka menegakkan keadilan dan kebenaran, serta
memajukan dan mencerdaskan bangsa.
Pada masa reformasi, pemerintah juga
memberi kemudahan untuk memperoleh SIUPP. Akibat kemudahan memperoleh SIUPP
tersebut, jumlah pemohon SIUPP membengkak lebih dari sepuluh kali lipat
dibandingkan dengan masa Orde Baru. Kebijakan lain Pemerintah Kabinet Reformasi
dalam membuka peluang kebebasan pers adalah dengan mencabut SK Menpen Nomor 47
tahun 1975 tentang pengakuan pemerintah terhadap PWI sebagai satu-satunya
organisasi wartawan di Indonesia. Pencabutan SK ini, mengakhiri era wadah
tunggal organisasi kewartawanan, sehingga tidak sampai dalam satu tahun telah
tumbuh 34 organisasi wartawan cetak dan elektronik. Walaupun kehadirannya dapat
dipandang sebagai cerminan euphoria kebebasan, akan tetapi di pihak lain dapat
menjadi ajang kompetisi wartawan Indonesia meningkatkan profesionalitas mereka.
Pada masa pemerintahan Abdurrahman
Wahid, departemen penerangan yang dianggap mengekang pers dibubarkan.
Pemerintah tidak mempunyai ruang untuk mengekang pers. Pers yang tadinya
diawasi dengan ketat oleh pemerintah pada masa reformasi ditiadakan. Yang ada
hanya Dewan Pers yang bertugas untuk mengawasi dan menetapkan pelaksanaan kode
etik, juga sebagai mediator antara masyarakat, pers dan pemerintah apabila ada
yang dirugikan.
Pelaksanaan kebebasan pers pada era
reformasi dalam kenyataannya masih banyak menghadapi kendala. Euforia kebebasan
berpendapat dan kebebasan berorganisasi, ditanggapi dengan banyaknya
diterbitkan surat kabar atau media, serta didirikannya partai-partai politik.
Fenomena euphoria kebebasan politik berdampak pada kualitas pelaksanaan
kebebasan pers. Dalam realitasnya keberhasilan gerakan Reformasi membawa
pengaruh pada kekuasaan pemerintah jauh berkurang, untuk tidak mengatakan tiada
sama sekali terhadap pers. Pergulatan pers dengan sebuah rezim seolah telah
usai. Pada masa reformasi pers sepenuhnya bergulat dengan pasar yang semakin
membuat jaya kelompok-kelompok media yang sudah mapan secara ekonomis di masa
Orde Baru. Untuk sementara pers Indonesia boleh bernafas lega dari tekanan
politis sambil mencari keuntungan uang sebanyak mungkin. Fenomena ini kemudian
melahirkan gejala kelompok-kelompok usaha media, seperti Gramedia Grup, Sinar
Kasih Grup, Pos Kota Grup, Presindo Grup, dan Grafiti / Jawa Pos Grup.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah
dijelaskan, dapat disimpulkan bahwa kebebasan pers pada masa orde baru sangat
berbeda dengan kebebasan pers pada masa reformasi. Pada masa orde baru
pergerakan pers sangat dibatasi dan hanya sebagai boneka pemerintah untuk
melanggengkan kepentingannya. Sedangakan pada masa reformasi, kebebasan pers
sangat terjamin. Ruang gerak pers menjadi sangat luas. Pers dapat melakukan
fungsi top – down dan bottom – up, walaupun terkadang masih dimanfaatkan
sebagai alat penguasa serta pemilik modal. Kebebasan pers masa reformasi juga
bukan berarti tanpa masalah, banyak masalah yang timbul akibat dari kebebasan
pers itu sendiri.
Daftar Pustaka
Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 2,
Nomor 1, Juni 2005
Lesmana, Tjipta. “Kebebasan dan Tanggungjawab Pers
Harus Berimbang”. Sinar Harapan, 8-10-2003
Imawan, Riswandha. 1998. Membedah Politik Orde Baru.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Abar, Ahmad Zaini. 1994. “Kekecewaan Masyarakat dan
Kebebasan Pers”. Prisma. Jakarta: LP3ES.
B. Bambang Wismabrata, “Rekonstruksi Makna
Kebenaran Pers”, jurnal penelitian IPTEK-KOM, Edisi 12,
Komentar
Posting Komentar