makalah akhlak tasauf
Makalah akhlak tasauf
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu Akhlak
Ada dua pendekatan
yang dapat di gunakan untuk mendefinisikan akhlak yaitu pendekatan linguistic (kebahasan), dan pendekatan terminologik (peristilahan). Namun akar kata akhlak dari akhlaqa sebagaimana tersebut di atas tampaknya kurang pas, sebab isim mashdar dari kata akhlaqa bukan dari kata akhlaq tetapi ikhlaq. Berkenaan dengan ini maka timbul
pendapat yang mengatakan bahwa secara Lingustik kata akhlak merupakan isim jaded atau isim mustaq, yaitu isim yang tidak memiliki akar kata, melainkan kata tersebut memang
sudah demikian adanya.
Secara bahasa akhlak
berasal dari kata اخلق – يخلق – اخلاقا artinya perangai,
kebiasaan, watak, peradaban yang baik, agama. Kata akhlak sama dengan kata
khuluq.
انما بعثت لا تمم مكارم الاخلاق
Artinya : bahwasanya aku di utus (allah) untuk menyempurkan keluhuran budi
pekerti. (HR. AHMAD)
Secara istilah akhlak berasal dari :
a) Ibnu Miskawaih: sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk
melaksanakan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
b) Imam Ghazali: sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam
perbuatan yang mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
c) Ibrahim Anis dalam Mu`jam al-Wasith : sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam
perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.
d) Dalam kitab Dairatul Ma`arif : sifat-sifat yang terdidik.
Dari atas tak ada
perbedaan akan tetapi memilki kemiripan antara satu dengan yang lain. Definisi
– definisi akhlak tersebut adalah subtansial tampak saling melengkapi,
B. Ruang Lingkup Akhlak
Jika definisi tentang
ilmu akhlak tersebut kita perhatikan dengan seksama, akan tampak bahwa ruang
lingkup pembahasan ilmu akhlak adalah membahas tentang perbuatan – perbuatan
manusia, kemudian menetapkannya apakah perbuatan tersebut tergolong perbuatab
yang baik atau perbuatan yang buruk.
Dengan mengemukakan
beberapa literaratur tentang akhlak tersebut menunjukan bahwa keberadaan ilmu
akhlak sebagai sebuah disiplin ilmu agama sudah sejajar dengan ilmu-ilmu
keIslaman lainnya, seperti tafsir, tauhid, fiqh, sejarah Islam, dan lai-lain.
Pokok-pokok masalah
yang dibahas dalam ilmu akhlak pada intinya adalah perbuatan manusia. Dan
selanjutnya di tentukan kriterianya apakah itu baik atau buruk.
Definisi dari ruang lingkup akhlak:
·
Perbuatan-perbuatan manusia menurut
ukuran baik dan buruk.
·
Objeknya adalah norma atau penilaian
terhadap perbuatan tersebut.
·
Perbuatan tersebut baik perbuatan
individu maupun kolektif.
C. Tujuan Akhlak
Tujuan akhlak adalah
menggapai suatu kebahagiaan hidup umat manusia baik di dunia dan di akhirat.
Dikarekan itulah kita sebagai manusia untuk hidup saling membantu baik dari
pekerjaan, kebutuhan atau lainnya.
Tujuan mempelajari
akhlak diantaranya adalah menghindari pemisahan antara akhlak dan ibadah. Atau
bila kita memakai istilah: menghindari pemisahan agama dengan dunia
(sekulerisme). Kita sering mendengar celotehan, “Agama adalah urusan akhirat
sedang masalah dunia adalah urusan masing-masing.” Atau ungkapan, ”Agama
adalah urusan masjid, di luar itu terserah semau gue.” Maka jangan heran
terhadap seseorang yang beribadah, kemudian di lain waktu akhlaknya tidak
benar. Ini merupakan kesalahan fatal. Kita pun sering menjumpai orang-orang
yang amanah dan jujur, tetapi mereka tidak shalat. Ini juga keliru.[1]
D. Manfaat Mempelajari Ilmu Akhlak
Berkenaan dengan
manfaat mempelajari ilmu akhlak ini, Ahmad Amin mengatakan sebgaai berikut :
Tujuan mempelajari
ilmu akhlak dan permasalahannya yang menyebabkan kita dapat menetapkan sebagian
perbuatan yang lainnya sebagai yang baik dan sebagian perbuatan lainnya sebagai
yang buruk. Bersikap adil termasuk baik, sedangkan berbuat zalim termasuk
perbuatan buruk, membayar utang kepada pemilkinya termasuk perbuatan baik,
sedangkan mengingkari utang termasuk pebuatan buruk.
Selanjutnya Mustafa
Zahri mengatakan bahwa tujuan perbaikan akhlak itu, ialah untuk membersihkan
qalbu dari kotoran-kotoran hawa nafsu dan marahsehingga hati menjadi suci
bersih, bagaikan cermin yang dapat menerima NUR cahayaTuhan.[2]
Seseorang yang
mempelajari ilmu ini akan memiliki pengetahuan tentang kriteria perbuatan baik
dan buruk, dan selanjutnya ia akan banyak mengetahui perbuatan yang baik dan
perbuatan yang buruk.
Ilmua akhlak atau
akhlak yang mulia juga berguna dalam mengarahkan dan mewarnai berbagai
aktivitas kehidupan manusia disegala bidang. Seseorang yang memiliki IPTEK yang
maju disertai akhlak yang mulia, niscaya ilmu pengetahuaan yang Ia miliki itu
akan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kebaikan hidup manusia. Sebaliknya,
orang yang memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi modern, memiliki pangkat,
harta, kekuasaan, namun tidak disertai dengan akhlak yang mulia, maka semuanya
itu akan disalahgunakan yang akibatnya akan menimbulkan bencana dimuka bumi.
Demikian juga dengan
mengetahui akhlak yang buruk serta bahaya-bahaya yang akan ditimbulkan darinya,
menyebabkan orang enggan untuk melakukannya dan berusaha menjauhinya. Orang
yang demikian pada akhirnya akan terhindar dari berbagai perbuatan yang dapat
membahyakan dirinya.
Dengan demikian secara
ringkas dapat dikatakan bahwa Ilmu Akhlak bertujuan untuk memberikan pedoman
atau penerangan bagi manusia dalam mengetahui perbuatan yang baik atau yang
buruk. Terhadap perbuatan yang baik ia beruasaha melakukannya, dan terhadap
yang buruk ia berusaha untuk menghindarinya.
E. Pengertian Tasawwuf
Tasawwuf adalah
bersungguh-sungguh (dalam berbuat baik) dan meninggalkan sifat-sifat tercela
(Lihat kitab Iyqo-zhul Himam halaman 7).
Aslinya Tasawuf (yaitu
jalan tasawuf) adalah tekun beribadah, berhubungan langsung kepada ALLAH,
menjauhi diri dari kemewahan dan hiasan duniawi, Zuhud (tidak suka) pada
kelezatan, harta dan pangkat yang diburu banyak orang, dan menyendiri dari
makhluk di dalam kholwat untuk beribadah (Lihat kitab Zhuhrul Islam IV-Halaman
151).
Adapun batasan tasawuf
adalah : Maka berkata Junaed : yaitu bahwa kebenaran mematikanmu dari dirimu
dan kebenaran tersebut menghidupkanmu dengan kebenaran tersebut. Dan ia berkata
juga : Adalah kamu bersama ALLAH tanpa ketergantungan. Dan dikatakan : Masuk
pada segala ciptaan yang mulya dan keluar dari segala ciptaan yang hina. Dan
dikatakan : Yaitu akhlak mulia yang tampak pada zaman yang mulia beserta kaum
yang mulia. Dan dikatakan : Bahwa kamu tidak memiliki sesuatu dan sesuatu itu
tidak memiliki kamu. Dan dikatakan : Tasawuf itu dibangun atas 3 macam :
a. Berpegang dengan kefakiran dan menjadi fakir
b. kenyataan berkorban dan mementingkan orang lain
c. Meninggalkan mengatur dan memilih
Menurut Ma’ruf
al-Kurhi, tasawuf adalah berpegang pada apa yang hakiki dan menjauhi sifat
tamak terhadap apa yang ada di tangan manusia.
Peranan sebagai usaha
untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan menekankan pentingnya akhlak atau
sopan santun baik kepada Allah maupun kepada sesama makhluk.
Ajaran tasawuf
al-Junaid dikembangkan lagi oleh shufi terkenal. Husain ibn Manshur al-Hallaj
yang mati dihukum gantung oleh ulama syari’ah tahun 309 H, karena ia mengaku
dirinya telah menyatu dengan Tuhan, sebagaimana terlihat dari ucapannya: ana
Allah…ana al-Haqq (aku adalah Allah….aku adalah yang maha benar).
Berdasarkan seluruh
definisi tasawuf yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa tasawuf
di samping sebagai sarana untuk memperbaiki ahlak manusia agar jiwanya menjadi
suci, sekaligus sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah
sedekat-dekatnya.
F. Hubungan Akhlak dengan Tasawuf
Akhlak dan Tasawuf
saling berkaitan. Akhlak dalam pelaksanaannya mengatur hubungan horizontal
antara sesame manusia, sedangkan tasawuf mengatur jalinan komunikasi vertical
antara manusia dengan Tuhannya. Akhlak menjadi dasar dari pelaksanaan tasawuf,
sehingga dalam prakteknya tasawuf mementingkan akhlak.
Para ahli ilmu tasawwuf pada umumnya
membagi tasawwuf kepada tiga bagian:
1) Tasawwuf falsafi
2) Tasawwuf akhlaki
3) Tasawwuf amali
Yang memiliki
tujuannya sama yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membersihkan
diri dari perbuatan yang terceladan menghias diri dengan perbatab yang terpuji.
G. Tujuan Mempelajari Tasawwuf
Tujuannya adalah
Ma’rifatullah (mengenal ALLAH secara mutlak dan lebih jelas). Tasawwuf memiliki
tujuan yang baik yaitu kebersihan diri dan taqarrub kepada Allah. Namun
tasawwuf tidak boleh melanggar apa-apa yang telah secara jelas diatur oleh
Al-Quran dan As-Sunnah, baik dalam aqidah, pemahaman atau pun tata cara yang
dilakukan.
Melihat dari situ kita
dapat untuk bisa memahami betapa pentingnya mengenal Allah secara lebih dalam
dan memahaminya dengan benar. Sama juga dengan kebersihan diri dan taqarrub,
tapi kita tak boleh melanggar apapun yang telah al-qur`an berikan.
H. Faedah Dari Mempelajari Tasawwuf
Saat kita telah
memahami tassawwuf itu kita mulai dapat membedakan mana yang baik dan tidak,
Bagi tasawwuf mendidik hati dan ma’rifah Allah Yang Maha Mengetahui,
sepertimana kata Ibn `Ajibah: Buah hasilnya ialah kelapangan (mulia) nafsu,
selamat dada dan akhlak yang mulia bersama setiap makhluk.
Faedah tasawwuf ialah
membersihkan hati agar sampai kepada ma’rifat akan terhadap Allah Ta’ala
sebagai ma’rifat yang sempurna untuk keselamatan di akhirat dan mendapat
keridhaan Allah Ta’ala dan mendapatkan kebahagiaan abadi.
A. Persamaan Etika, Moral, dan Akhlak
1. Persamaan
·
Persamaan ketiganya terletak pada
fungsi dan peran, yaitu menentukan hukum atau nilai dari suatu perbuatan
manusia untuk ditetapkan baik atau buruk.
·
Secara rinci persamaan tersebut terdapat
dalam tiga hal:
1. Objek: yaitu perbuatan manusia
2. Ukuran: yaitu baik dan buruk
2. Perbedaan
1. Sumber atau acuan:
o Etika sumber acuannya adalah akal
o Moral sumbernya norma atau adapt istiadat
o Akhlak bersumber dari wahyu
2. Sifat Pemikiran:
o Etika bersifat filososfis
o Moral bersifat empiris
o Akhlak merupakan perpaduan antara wahyu
dan akal
3. Proses munculnya perbuatan:
o
Etika muncul ketika ad aide
o
Moral muncul karena pertimbangan suasana
o
Akhlak muncul secara spontan atau tanpa
pertimbangan.[4]
B. Hubungan Manusia dengan Etika, Moral dan Akhlak
§ Beberapa hari terakhir ini kita mendapat sajian fakta hukum yang
mengenaskan dalam perjalanan Republik ini. Mafia hukum bertebaran dimana-mana,
bahkan sampai mencabik-cabik prosedur hukum yang telah dijalankan pemerintah.
Makelar hukum yang biasa dikenal markus juga begityu perkasa merekayasa
berbagai status hukum yang tak jelas duduk perkaranya.
§ Akhirnya, aparat penegak hukum menjadi aktor yang merusak tatanan sistem
hukum itu sendiri. Fakta hukum di Indonesia inilah yang sekarang menjadi keluh-kesah
masyarakat. Bahkan masyarakat sekarang tidak sedikit yang apriori, bahkan tidak
lagi percaya atas kasus perkara yang diajukan ke meja hijau. Karena hukum sudah
dibeli oleh oknum tak bertanggungjawab. Kasus “cicak” versus “buaya” yang
sampai sekarang belum usai adalah fakta empiric bobroknya penegakan hukum di
Indonesia.
§ Berangkat dari fakta inilah, menarik kalau kita menjelajah buku bertajuk
“Etika dan Hukum; Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas”. Bertolak dari
pemikirannya Thomas Aquinas, penulis melihat bahwa hukum pada dasarnya
merupakan “peta jalan” menuju kebahagiaan. Hukum merancang atau memetakan arah
yang harus diambil manusia dalam perbuatan, jika manusia ingin mencapai tujuan
akhir yang dicarinya.
§ Peta tersebut adalah hasil karya budi manusia, sebab sebelum peta itu
dibuat terlebih dahulu orang harus memikirkan tujuannya dan jalan yang dapat
menuntunnya kea rah tujuan tersebut. Demikian juga arah dan tujuan hidup
manusia. Dalam hal ini, hukum selalu merupakan perintah atau petunjuk akal budi
yang mengatur perbuatan manusia menuju sasarannya, yakni kebahagiaan an
kebaikan umum (hlm. 243).
§ Alam pandangan hukum kodrat, manusia akan secara alamiah membentuk dan
mengoraganisir diri dalam membentuk tatanan sosial dan politik. Semua itu
dilakukan manusia demi memenuhi kebutuhan hidup bersama berdasarkan kebaikan
dan kesejahteraan umum. Sebenarnya, bagi Aquinas, dalam diri manusia sudah ada
tiga aspek pengaturan yang ditetapkan. Yang pertama, berhubungan dengan aturan
akal budi, karena semua perilaku dan perasaan kita harus diatur berdasarkan
aturan akal budi. Kedua, berhubungan dengan aturan yang berasal dari hukum
ilahi, yang dipergunakan untuk mengatur manusia dalam segala kehidupannya.
§ Seandainya manusia menurut kodratnya harus hidup sendirian, dua aspek
pengaturan ini sudah memadai, namun karena manusia menurut hukum kodratnya
adalah makhluq politik dan makhluq sosial, maka diperlukan aturan ketiga, yakni
manusia harus diarahkan untuk hidup (selalu) dalam hubungan dengan sesamanya.
§ Independensi manusia dalam menegakkan hukum ini mendapat perhatian serius
dari Aquinas. Karena setiap persona mempunyai substansi kehidupannya sendiri
yang berperan sangat penting dalam penegakan sebuah hukum. Nilai-nilai dasar
kemanusiaan sebenarnya sudah melekat dalam diri persona manusia. Kedudukan yang
substansial ini dikarenakan, pertama, manusia adalah makhluq otonom dan unik;
kedua, manusia adalah persona yang korelatif. Otonomi dan kebebasan adalah
dimensi transedental manusia sebagai persona. Manusia juga memiliki kodrat
rasional, sehingga manusia adalah makhluq yang “sadar diri” atau memiliki
kemampuan untuk berbuat secara manusiawi. Sedangkan dalam kodrat substansial,
manusia mampu untuk menghadirkan diri dan berkembang sebagai subjek yang otonom.
§ Kodrat rasional yang substansial inilah yang membentuk pola etis kehidupan
manusia. Karena dalam diri manusia terdapat kecenderungan pada kebaikan sesuai
dengan kodrat yang juga berlaku untuk semua substansi, sedemikian rupa sehingga
setiap substansi mengusahakan pelestarian keberadaannya sesuai dengan hekakat
kodratnya. Dalam kaitan inilah, Aquinas menyatakan bahwa segala sesuatu yang
diketahui hekaket tujuan akhir, memiliki hakekat baik. Pernyataan ini menjadi
akar penjabaran Aquinas tentang teori moralnya. Karena makhluq rasional yang
berakal budi, maka manusia haruslah “sadar diri” dalam posisinya sebagai
makhluq. Dengan “adar diri” ini, manusia akan menjadi tuan atas perbuatannya.
Tuan bagi perbuatan inilah yang mengantarkan manusia kepada hakekat
kemanusiaanya, dan disitulah manusia dengan akal budinya berjalan dalam nilai
etis moralnya dalam menjalankan kehidupan.
§ Akal budi manusia akan menuntun manusia untuk menemukan wujud kebaikan dan
keadilan yang didambakan. Akal budi menjadi asas pertama perbuatan manusia, dan
hukum merupakan aturan dan ukurannya, yang sudah seharusnya hukum memang
bersumber dari akal budi. Jika hukum disusun supaya dapat mengikat perbuatan
manusia, maka hukum harus adil dan membimbing manusia menuju tujuan akhir, yakni
kebaikan. Kebaikan dan keadilan akan membuka keharusan ketaatan moral untuk
menjadikan hukum sebagai penegak tata social yang harmonis dan seimbang. Rasa
kebaikan dan keadilan akan membingkai moralitas dalam penegakan hukum.
§ Moralitas penegak hukum bisa ditegakkan dengan selalu mencerahkan akal
budianya untuk terus “sadar diri” atas keberadaannya sebagai “tuan” atas
perbuatan yang dijalankan. “Sadar diri” inilah yang menjadi pangkal tolak yang
diajukan Aquinas dalam membingkai hubungan etika dalam penegakan hukum.
Kesadaran diri manusia harus selalu diolah, karena bagi Aquinas, kesadaran diri
merupakan potensi yang harus ditafsirkan secara kritis, sehingga akan
melahirkan gagasan yang segar dan mencerahkan. Makhluq yang “sadar diri”
pastilah akan membuka jalan baru kehidupan yang mencerahkan dan membahagiakan.
§ Dalam konteks ini, fakta rusaknya penegakan hukum di Indonesia bisa
ditafsirkan sebagai ambruknya nilai “sadar diri”, sehingga jatuhlah nilai dan
hekakat hukum. Penegak hukum bukan lagi “tuan” atas perbutannya, tetapi “tuan”
bagi kekuasaan, uang, dan jabatan.[5]
SEJARAH TASAWUF DAN
ALIRANNYA
Sebagai sejarahwan
mengaitkan sejarah tashawuf dengan Imam Ja’far Al-Shadiq ibn Muhammad Bagir ibn
Ali’ Zainal Abidin ibn Husain ibn Ali Ibn Abi Thalib. Imam Ja’far, meski amat
dihormati dan dianggap sebagai guru keempat-empat para imam kaum
Ahlusunnah-yakni Imam Abu Hanifah, Maliki; Syafi’i dan ibn Hanbal-adalah imam
kelima dari mazhab syi’ah Itsna Asyariah. Kenyataannya, meski tak banyak
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Syafi’i kemungkinan akibat
kritik-kritik keras yang ditujukan kepadanya oleh kecenderungan untuk membela
ahlul bait (keluarga Nabi) ujar-ujar Imam Ja’far banyak disebutkan oleh para
sufi, seperti Fudhail ibn Iyadh Dzun Nun Al-Mishri, Jabir bin Hayyan, dan
Al-Hajj.
Dalam sejarah
pemikiran dan praktik Islam, tasawuf mengalami pasang surut. Lahir dan
berkembang sebagai suatu disiplin sejak abad ke-2 H. lewat pribadi-pribadi
seperti Hasan Al-Bashri, Sufyan al-Tsauri al-Harits ibn Asad Al Muhasibi, B
Yazid Al Bustami dan sebagainya. Tasawuf tak pernah bebas dari kritikan.
Selanjutnya pertumbuhan dan perkembangan tasawuf di dunia Islam dapat dikelompokkan
ke dalam beberapa tahap[6];.
1. Tahap Zuhud (Asketisme)
·
Tahap awal perkembangan tasawuf ini
menentang mulai akhir abad ke-1 H sampai kurang lebih abad ke-2. Gerakan zuhud
ini pertama kali muncul di Madinah, Kufah dan Bashrah, kemudian menyebar ke
Khurasan dan Mesir.
·
Berikut ini adalah tokoh-tokoh menurut
tempat-tempat perkembangannya:
·
Para Zahid yang tinggal di Madinah dari
kalangan sahabat, seperti Abu Ubaidah al-Jarrah (w.18 H) Abu Dzar Al Ghifari
(w.22 H) Salmah Al-Farisi (w.32 H). Abdullah ibn Mas’ud (w. 33 H). Sedangkan
dari kalangan satu generasi setelah masa Nabi (tabi’in) termasuk diantaranya
adalah Said ibn Musayyab (w. 91 H) dan Salim Ibn Abdullah (w.106 H).
2. Tahap Tasawuf (Abad III dan IV H)
·
Pada paruh pertama abad ke-3 H, wacana
tentang zuhud mulai digantikan oleh tasawuf. Ajaran para sufi ini pun tidak
lagi terbatas pada aspek praktis (amali) berupa penanaman akhlak belaka. Para
sufi dalam tahap ini mulai masuk ke aspek teoretis (nazhari) dengan jalan
memperkenalkan konsep-konsep dan terminology baru yang sebelumnya tidak dikenal
ha; maqam, hal ma’rifah, tauhid (dalam maknanya yang khas tasawuf), fana,
hulul, dan lain-lain. Tokoh-tokohnya termasuk Ma’ruf al-Karkhi (w. 200 H), Abu
Sulaiman Al-Darani (w. 254 H) Dzul Nun Al Mishri (w. 245 H) dan Junaid
Al-Baghdadi.
3. Tahap Tasawuf Falsafi (Abad VI H)
·
Tasawuf falsafi merupakan perpaduan
antara pencapaian pencerahan mistikal dan pemaparan secara rasional-filosofis.
Ibn Arabi adalah tokoh utama aliran ini, disamping juga Al Qunawi, muridnya.
Sebagai ahli memasukkan al-Hajjaj dan Abu (Ba) Yazid Al Busthami juga ke dalam
kelompok ini. Aliran ini kadang disebut juga dengan Irfan (Gnostisisme) karena
orientasinya pada pengetahuan (ma’rifah atau gnosis) tentang Tuhan dan hakikat
segala sesuatu.
4. Tahap Tarekat (Abad VII H dan seterusnya)
·
Meskipun tarekat telah dikenal sejak
jauh sebelumnya seperti Tarekat Junaidiyyah yang didirikan oleh Abu Hasan
ibn Muhammad Nuri (w. 298 H), baru pada masa-masa inilah tarekat berkembang
dengan pesat. Termasuk diantaranya; tarekat Qadariyah yang didirikan oleh Abdul
Qadir Al Jilani (w. 561 H) dari Jilan (termasuk wilayah Iran sekarang). Tarekat
Rifa’iyah yang didirikan oleh Ahmad Rifai (w. 578 H) dan Tarekat Suhrawardiyyah
yang didirikan oleh Abu Najib Al Suhrawadi (w. 563 H). Namun dari semua tarekat
yang pernah tumbuh dan berkembang dalam sejarah tasawuf, yang memiliki pengikut
paling luas adalah tarekat Naqsyabandiyah. Tarekat yang sekarang telah memiliki
banyak variasi ini pada mulanya didirkan di Bukhara, Asia Tengah oleh Muhammad
ibn Muhammad Bahauddin al Uwaisi Al Bukhari Naqsyabandi.
PEMBAGIAN TASAWUF
DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGINYA
A. Tasawuf Akhlaqi
Tasawuf akhlaqi adalah
tasawuf yang berkonstrasi pada teori-teori perilaku, akhlaq atau budi pekerti
atau perbaikan akhlaq. Dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan,
tasawuf seperti ini berupaya untuk menghindari akhlaq mazmunah dan mewujudkan akhlaq mahmudah. Tasawuf seperi ini dikembangkan oleh
ulama’ lama sufi.[7]
Dalam pandangan para
sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental yang tidak baik
diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriyah. Oleh karena itu pada
tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seseorang diharuskan melakukan
amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat tujuannya adalah mengusai hawa nafsu,
menekan hawa nafsu, sampai ke titik terendah dan -bila mungkin- mematikan hawa
nafsu sama sekali oleh karena itu dalam tasawuf akhlaqi mempunyai tahap sistem
pembinaan akhlak disusun sebagai berikut:
1. Takhalli
Takhalli merupakan langkah pertama yang harus di lakukan oleh seorang sufi.Takhalli
adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela. Salah satu
dari akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan akhlak jelek antara lain
adalah kecintaan yang berlebihan kepada urusan duniawi.
2. Tahalli
Tahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri
dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi
setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela. Dengan menjalankan
ketentuan agama baik yang bersifat eksternal (luar) maupun internal (dalam).
Yang disebut aspek luar adalah kewajiban-kewajiban yang bersifat formal seperti
sholat, puasa, haji dll. Dan adapun yang bersifat dalam adalah seperti
keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada Tuhan.
3. Tajalli
Untuk pemantapan dan
pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli,maka rangkaian
pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase tajalli. Kata tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa dan organ-organ
tubuh –yang telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan sudah terbiasa
melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur- tidak berkurang, maka, maka rasa
ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan
kesadaran optimum dan rasa kecintaan yang mendalam dengan sendirinya akan
menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya.[8]
B. Tasawuf Falsafi
Tasawuf Falsafi adalah
tasawuf yang didasarkan kepada gabungan teori-teori tasawuf dan filsafat atau
yang bermakana mistik metafisis, karakter umum dari tasawuf ini sebagaimana yang telah dikemukakan oleh
Al-Taftazani bahwa tasawuf seperti ini: tidak dapat dikatagorikan sebagai
tasawuf dalam arti sesungguhnya, karena teori-teorinya selalu dikemukakan dalam
bahasa filsafat, juga tidak dapat dikatakan sebagai filsafat dalam artian yang
sebenarnya karena teori-teorinya juga didasarkan pada rasa. Hamka menegaskan
juga bahwa tasawuf jenis tidak sepenuhnya dapat dikatakan tasawuf dan begitu
juga sebaliknya. Tasawuf seperti ini dikembangkan oleh ahli-ahli sufi sekaligus
filosof. Oleh karena itu, mereka gemar terhadap ide-ide spekulatif. Dari
kegemaran berfilsafat itu, mereka mampu menampilkan argumen-argumen yang kaya
dan luas tentang ide-ide ketuhanan.[9]
C. Tasawuf Syi’i
Kalau berbicara
tasawuf syi’i, maka akan diikuti oleh tasawuf sunni. Dimana dua macam tasawuf yang dibedakan berdasarkan “kedekatan” atau
“jarak” ini memiliki perbedaan. Paham tasawuf syi’i beranggapan, bahwa manusia
dapat meninggal dengan tuhannya karena kesamaan esensi dengan Tuhannya karena
ada kesamaan esensi antara keduanya. Menurut ibnu Khaldun yang dikutip oleh
Taftazani melihat kedekatan antara tasawuf falsafi dan tasawuf syi’i. Syi’i
memilki pandangan hulul atau ketuhanan iman-iman mereka. Menurutnya dua kelompok itu mempunyai dua
kesamaan.[10]
D. Perkembangan Tasawuf Akhlaqi, Falsafi, Syi’i
Pada mulanya tasawuf
merupakan perkembangan dari pemahaman tentang makna-makna intuisi-intuisi
Islam. Sejak zaman sahabat dan tabi’in kecenderungan orang terhadap ajaran Islm
secara lebih analistis sudah muncul. Ajaran Islam dipandanga dari dua aspek,
yaitu aspek lahiriah (seremonial) dan aspek batiniah(spritual), atau aspek
“luar” dan aspek “dalam”. Pendalaman dan aspek dalamnya mulai terlihat sebagai
hal yang paling utama, namun tanpa mengabaikankan aspek luarnya yang
dimotifasikan untk membersihkan jiwa. Tanggapan perenungan mereka lebih
berorientasi pada aspek dalam, yaitu cara hidup yang lebih mengutamakan rasa,
keagungan tuhan dan kebebasan egoisme.
Perkembangan tasawuf
dalam Islam telah mengalami beberapa fase: pertama, yaitu fase asketisme (zuhud) yaitu tumbuh pada abad pertama dan kedua
hijriah. Sikap asketisme (zuhud) ini banyak dipandang sebagai pengantar
kemunculan tasawuf. Pada fase ini, terdapat individu-individu dari
kalangan-kalangan muslim yang lebih memusatkan dirinya pada ibadah. Mereka
menjalankan konsepsi asketis dalam hidupnya, yaitu tidak mementingkan makanan,
pakaian, maupun tempat tinggal. Mereka lebih banyak beramal untuk hal-hal yang
berkaitan dalam kehidupan akhirat, yang menyebabkan mereka lebih memusatkan
diri pada jalur kehidupan atau tingkah laku yang asketis. Tokoh yang sangat
populer dari kalangan mereka adalah Hasan AL-Bashri (wafat pada 110 H) dan
Rabiah Al-Adawiah (wafat pada 185 H). kedua tokoh ini sebagai zahid.
Pada abad ketiga
hijriah, para sufi mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan
tentang jiwa dan tingkah laku. Perkembangan dan doktrin-doktrin dan tingkah
laku sufi ditandai dengan upaya menegakkan moral ditengah terjadinya dekadensi
moral yang berkembang saat itu. Sehingga ditangan mereka, tasawuf pun
berkembang menjadi ilmu moral keagamaan atau ilmu akhlak keagamaan. Pembahasan
mereka tentang moral, akhirnya, mendorongnya untuk semakin mengkaji hal-hal
yang berkaitan tentang akhlak.
Kajian yang berkenaan
dengan akhlak ini menjadikan tasawuf terlihat sebagai amalan yang sangat
sederhana dan mudah dipraktekkan oleh semua orang. Kesederhanaannya dilihat
dari kemudahan landasan- landasan atau alur befikirnya. Tasawuf pada alur yang
sederhana ini kelihatannya banyak ditampilkan oleh kaum salaf. Perhatian mereka
lebih tertuju pada realitas pengamalan Islam dalam praktek yang lebih
menekankan perilaku manusia yang terpuji.
Kaum salaf tersebut
melaksanakan amalan-amalan tasawuf dengan menampilakan akhlak atau moral yang
terpuji, dengan maksud memahami kandungan batiniah ajaran Islam yang mereka
nilai benyak mengandung muatan anjuran untuk untuk berakhlak terpuji. Kondisi
ini mulai berkembang di tengah kehidupan lahiriah yang sangat formal namun
tidak diterima sepenuhnya oleh mereka yang mendambakan konsistensi pengamalan
ajaran Islam hingga aspek terdalam. Oleh karena itu, ketika mereka menyaksiakn
ketidakberesan perilaku (akhlak) di sekitarnya. Mereka menanamkan kembali
akhlak mulia. Pada masa itu tasawuf identik dengan akhlak.
Kondisi tersebut
kurang lebih berkembang selama satu abad, kemudian pada abad ketiga hijriah,
muncul jenis tasawuf lain yang lebih menonjol pemikiran ekslusif. Golongan ini
diwakili oleh Al-Hallaj, yang kemudian dihukum mati karena manyatakan
pendapatnya mengenai hulul (pada 309 H). Boleh jadi, Al-hallaj mengalami peristiwa naas seperti itu
karena paham hululnya ketika itu sangat kontrofersial
dengan kenyataan di masyarakat yang tengah mengarungi jenis tasawuf akhlaqi.
Untuk itu, kehadiran Al-Hallaj dianggap membahayan pemikiran umat. Banyak
pengamat menilai bahwa tasawuf jenis ini terpengaruh unsur-unsur di luar Islam.
Pada abad kelima
hijriah muncullah Imam Al-Ghazali, yang sepenuhnya hanya menerima taswuf
berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah serta bertujuan asketisme, kehidupan
sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan moral. Pengetahuan tentang tasawuf
berdasarkan tasawuf dikajinya dengan begitu mendalam. Di sisi lain, ia
melancarkan kritikan tajam terhadap para filosof, kaum Mu’tazilah dan Batiniyah. Al-Ghazali berhasil
mengenalkan prinsip-prinsip tasawuf yang moderat, yang seiring dengan aliran ahlu sunnah waljama’ah, dan bertentangan
dengan tasawuf Al-Hajjaj dan Abu Yazid Al-Busthami, terutama mengenai soal
karakter manusia.
Sejak abad keenam
hijriah, sebagai akibat pengaruh keperibadian Al-Ghazali yang begitu besar,
pengaruh tasawuf Sunni semakin meluas ke seluruh pelosok dunia Islam. Keadaan ini memberi peluang
bagi munculnya para tokuoh sufi yang mengembangkantarikat-tarikat untuk mendidik para murid mereka, seperti Sayyid Ahmad Ar-Rifa’i (wafat
pada tahun 570 H) dan Sayyid Abdul Qadir Al-Jailani (wafat pada tahun 651 H).
Sejak abad keenam
Hijriah, muncul sekelompok tokoh tasawuf yang memadukan tasawuf mereka dengan
filsafat, dengan teori mereka yang bersifat setengah-setengah. Artinya, tidak
dapat disebut murni tasawuf, tetapi juga juga tidak dapat disebut murni
filsafat. Di antara mereka terdapat Syukhrawadi Al-Maqtul (wafat pada tahun 549
H) penyusun kitab Hikmah Al-Isyraqiah, syekh Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi (wafat pada tahun 638 H), penyair sufi
Mesir, Ibnu Faridh wafat pada tahun 632), Abdul Haqq Ibnu Sab’in
Al-Mursi(meninggal pada tahun 669 H), serta tokoh-tokoh yang lainnya yang
sealiran. Mereka banyak menimba berbagai sumber dan pendapat asing, seperti
filsafat Yunani dan khususnya Neo-Platonisme. Mereka pun banyak mempunyai teori
mendalam mengenai jiwa, moral, pengetahuan, wujud dan sangat bernilai baik
ditinjau dari segi tasawuf maupun filsafat, dan berdampak besar bagi para sufi
mutakhir.
Dengan munculnya para
sufi yang juga filosof, orang mulai membedakannya dengan tasawuf yang mula-mula
berkembang , yakni tasawuf akhlaqi. Kemudian, tasawufakhlaqi ini didentik dengan
tasawuf sunni. Hanya saja, titik tekan penyebutan tasawuf sunnidilihat pada upaya
yang dilakukan oleh sufi-sufi yang memegari tasawufnya dengan Al-Quran dan
As-Sunnah. Dengan demikian terbagi menjadi dua, yaitu sunni yang lebih berorientasi pada pengokohan
akhlak , dan tasawuf falsafi, yakni aliran yang menonjolkan pemikiran-pemikiran filosofis dengan
ungkapan-ungkapan ganjilnya (syathahiyat) dalam ajaran-ajaran yang
dikembangkannya. Ungkapan-ungkapan syathahiyat itu bertolak dari keadaan yang fana menuju pernyataan tentang terjadinya penyatuan ataupun hulul.
Tasawuf akhlaqi(sunni),
sebagaimana dituturkan Al-Qusyairi dalam Ar-Risalah-nya, diwakili para
tokoh sufi dari abad ketiga dan keempat Hijriayah, Imam Al-Ghazali, dan para
pemimpin thariqat yang memadukan taswuf dengan filsafat, sebagaimana disebut di atas. Para
sufi yang juga seorang filosof ini banyak mendapat kecaman dari para fuqaha akibat pernyataan-pernyataan mereka yang
panteistis. Di antara fuqaha yang paling keras kecamannya terhadap golongan sufi yang juga filosof ini
ialah Ibnu Taimiah (wafat pada tahun 728 H).
Selama abad kelima
Hijriah, aliran tasawuf sunni terus tumbuh dan berkembang. Sebaiknya, aliran tasawuf filosofis mulai tenggelam dan muncul kembali dalam
bentuk lain pada pribadi-pribadi sufi yang juga filosof pada abad keenam
hijriah dan seterusnya. Tenggelamnya aliran kedua ini pada dasarnya merupakan
imbas kejayaan aliran teologiahlu sunnah wal jama’ah di atas aliran-aliran lainnya. Dia antara kritik keras, teologi ahlu sunnah wal jama’ah dialamatkan pada
keekstriman tasawuf Abu Yazid Al-Busthami, Al-Hallaj, para sufi lain yang
ungkapan-ungkapannya terkenal ganjil, termasuk kecamannya terhadap semua bentuk
berbagai penyimpangan lainnya yang mulai timbul di kalangan tasawuf. Kejayaan
taswuf Sunni diakibatkan oleh kepiawaian Abu Hasan Al-Asy’ari (wafat 324 H) dalam
menggagas pemikiran Sunninya terutama dalam bidang ilmu kalam.
Oleh karena itu, pada
abag kelima Hijriah cenderung mengalami pembaharuan, yakni dengan
mengembalikannya pada landasan Al-Quraan dan As-Sunnah. Al-Qusyairi dan
Al-Harrawi dipandang sebagai tokoh sufi paling menonjol pada abad ini yang
member bentik tasawuf Sunni. Kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiah memperlihatkan dengan jelas bagaiman Al-Qusyairi mengembalikan landasan
tasawuf pada doktrin ahlu sunnah. Dalam penilaiannya, ia menegasakan bahwa para tokoh sufi aliran ini membina
prinsip-prinsip tasawuf atas landasan tauhid yang benar sehingga doktrin mereka
terpelihara dari penyimpangan. Selain itu mereka lebih dekat dengan tauhid kaum salaf maupun ahlu sunnah yang menakjubkan. Al-Qusyairi secara implisi menolak para sufi yang
mengajarakan syahadat, yang mengucapkan ungkapan penuh kesan tentang terjadimya perpaduan antara
sifat-sifat ketuhanan, terutama sifat terdahulu-Nya, dengan sifat-sifat
kemanusiaan, khususnay sifat baru-Nya.
MAQAMAT dan AHWAL
A. Pengertian Maqamat
“Maqamat dan Ahwal” adalah dua kata
kunci yang menjadi icon untuk dapat mengakses
lebih khusus ke dalam inti dari sufisme, yang pertama berupa tahapan-tahapan yang
mesti dilalui oleh calon sufi untuk mencapai tujuan tertinggi, berada
sedekat-dekatnya dengan Tuhan, dan yang kedua merupakan pengalaman mental sufi
ketika menjelajahmaqamat. Dua kata ‘maqamat dan ahwal’ dapat
diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang selalu berpasangan. Namun urutannya
tidak selalu sama antara sufi satu dengan yang lainnya. Maqamat adalah bentuk jamak dari kata maqam, yang secara terminologi berarti tingkatan, posisi, stasiun, lokasi.
Secara terminologi Maqamat bermakna kedudukan spiritual atau Maqamat adalah stasiun-stasiun yang harus dilewati oleh para pejalan spiritual
(salik) sebelum bisa mencapai ujung perjalanan. Istilah Maqamat sebenarnya dipahami berbeda oeh para
sufi. Secara terminologis kata maqam dapat ditelusuri pengertiannya dari pendapat para sufi, yang masing-masing
pendapatnya berbeda satu sama lain secara bahasa. Namun, secara substansi
memiliki pemahaman yang hampir sama.
Menurut al-Qusyairi
(w. 465 H) maqam adalah tahapan adab (etika) seorang hamba dalam rangka wushul
(sampai) kepadaNya dengan berbagai upaya, diwujudkan dengan suatu tujuan
pencarian dan ukuran tugas. Adapun pengertian maqam dalam pandangan al-Sarraj (w. 378 H) yaitu kedudukan atau tingkatan seorang
hamba dihadapan Allah yang diperoleh melalui serangkaian pengabdian (ibadah),
kesungguhan melawan hawa nafsu dan penyakit-penyakit hati (mujahadah),
latihan-latihan spiritual (riyadhah) dan mengarahkan segenap jiwa raga
semata-mata kepada Allah.
B. Maqamat
Sebagaimana telah
disebutkan diatas tingkatan-tingkatan (Maqamat) yang harus dilalui oleh seorang
salik menurut masing-masing ahli sufi terdiri dari beberapa tahapan.
Masing-masing ketujuh maqam ini mengarah ke peningkatan secara tertib dari satu
maqam ke maqam berikutnya. Dan pada puncaknya akan tercapailah pembebasan hati
dari segala ikatan dunia. Adapun maqamat yang dimaksud diantaranya
sebagai berikut[11]:
1. Taubat
Dalam ajaran
tasawuf konsep taubat dikembangkan dan memiliki berbagai macam
pengertian. Secara literal taubat berarti “kembali”. Dalam perspektif tasawuf ,
taubat berarti kembali dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang, berjanji untuk
tidak mengulanginya lagi dan kembali kepada Allah. Menurut para sufi dosa
merupakan pemisah antara seorang hamba dan Allah karena dosa adalah sesuatu
yang kotor, sedangkan Allah Maha Suci dan menyukai orang suci. Karena itu, jika
seseorang ingin berada sedekat mungkin dengan Allah ia hrus membersihkan diri
dari segala macam dosa dengan jalan tobat. Tobat ini merupakan tobat yang
sebenarnya, yang tidak melakukan dosa lagi. Bahkan labih jauh lagi kaum sufi
memahami tobat dengan lupa pada segala hal kecuali Allah
2. Wara’
Dalam perspektif
tasawuf wara’ bermakna menahan diri hal-hal yang sia-sia, yang haram dan
hal-hal yang meragukan (syubhat). Hal ini sejalan dengan hadits nabi:
حدثنا أحمد بن نصر النيسابوري وغير واحد قالوا حدثنا أبو مسهر عن إسمعيل بن
عبد الله بن سماعة عن الأوزاعي عن قرة عن الزهري عن أبي سلمة عن أبي هريرة قال:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنيه
“Diantara (tanda) kebaikan ke-Islaman
seseorang ialah meninggalkan sesuatu yang tidak penting baginya”.
Adapun makna wara’
secara rinci adalah meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat berupa
ucapan, penglihatan, pendengaran, perbuatan, ide atau aktivitas lain yang
dilakukan seorang muslim. Seorang salik hendaknya tidak hidup secara
sembarangan, ia harus menjaga tingkah lakunya, berhati-hati jika berbicara dan
memilih makanan dan minuman yang dikonsumsinya.
3. Zuhud
Kata zuhud banyak
dijelaskan maknanya dalam berbagai literatur ilmu tasawuf. Karena zuhud
merupakan salah satu persyaratan yang dimiliki oleh seorang sufi untuk mencapai
langkah tertinggi dalam spiritualnya. Diantara makna kata zuhud adalah
sebagaimana yang dikemukakan oleh imam al-Gazali “mengurangi keinginan kepada
dunia dan menjauh darinya dengan penuh kesadaran”, adapula yang
mendefenisikannya dengan makna “berpalingnya hati dari kesenangan dunia dan
tidak menginginkannya”, “kedudukan mulia yang merupakan dasar bagi keadaan yang
diridhai”, serta “martabat tinggi yang merupakan langkah pertama bagi salik yang berkonsentrasi, ridha, dan tawakal
kepada Allah SWT”. Menurut Haidar Bagir konsep zuhud diidentikkan dengan
asketisme yang dapat melahirkan konsep lain yaitu faqr. Menurut Abu Bakr
Muhammad al- Warraq (w. 290/903 M ) kata zuhud mengandung tiga hal yang mesti
ditinggalkan yaitu huruf z berarti zinah
(perhiasan atau kehormatan), huruf h berarti hawa (keinginan), dan d menunjuk kepada dunia (materi). Dalam perspektif tasawuf, zuhud diartikan
dengan kebencian hati terhadap hal ihwal keduniaan padahal terdapat kesempatan
untuk meraihnya hanya karena semata-mata taat dan mengharapkan ridha Allah
SWT.
4. Faqr
Faqr bermakna
senantiasa merasa butuh kepada Allah. Sikap faqr sangat erat hubungannya dengan
sikap zuhud. Orang yang faqr bukan berarti tidak memiliki apa-apa, namun orang
faqir adalah orang yang kaya akan dengan Allah semata, orang yang hanya
memperkaya rohaninya dengan Allah. Orang yang bersikap faqr berarti telah
membebaskan rohaninya dari ketergantungan kepada makhluk untuk memenuhi hajat
hidupnya. Ali Uthman al-Hujwiri dalam Kasyf al-Mahjub, mengutip
seorang sufi yang mengatakan “Faqir bukan orang yang tak punya
rezeki/penghasilan, melainkan yang pembawaan dirinya hampa dari nafsu rendah”.
Dia juga mengutip perkataan Syekh Ruwaym bahwa “Ciri faqir ialah hatinya
terlindung dari kepentingan diri, dan jiwanya terjaga dari kecemaran serta
tetap melaksanakan kewajiban agama.”
5. Sabr
Sabar secara etimologi
berarti tabah hati. Dalam Mu’jam Maqayis al-Lughah disebutkan bahwa kata sabar
memiliki tiga arti yaitu menahan, sesuatu yang paling tinggi dan jenis
bebatuan. Sabar menurut terminologi adalah menahan jiwa dari segala apa tidak
disukai baik itu berupa kesenangan dan larangan untuk mendapatkan ridha Allah.
Dalam perspektif tasawuf sabar berarti menjaga menjaga adab pada musibah yang
menimpanya, selalu tabah dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala
laranganNya serta tabah menghadapi segala peristiwa. Sabar merupakan kunci
sukses orang beriman. Sabar itu seperdua dari iman karena iman terdiri dari dua
bagian. Setengahnya adalah sabar dan setengahnya lagi syukur baik itu ketika
bahagia maupun dalam keadaan susah. Makna sabar menurut ahli sufi pada dasarnya
sama yaitu sikap menahan diri terhadap apa yang menimpanya.
6. Tawakkal
Tawakkal bermakna
‘berserah diri’. Tawakkal dalam tasawuf dijadikan washilah untuk memalingkan
dan menyucikan hati manusia agar tidak terikat dan tidak ingin dan memikirkan
keduniaan serta apa saja selain Allah. Pada dasarnya makna atau konsep tawakkal
dalam dunia tasawuf berbeda dengan konsep agama. Tawakkal menurut para
sufi bersifat fatalis, menggantungkan segala sesuatu pada takdir dan kehendak
Allah. Syekh Abdul Qadir Jailany menyebut dalam kitabnya bahwa semua yang
menjadi ketentuan Tuhan sempurna adanya, sungguh tidak berakhlak seorang salik
jika ia meminta lebih dari yang telah ditentukan Tuhan.
7. Ridha
Pada dasarnya beberapa
ulama mengemukakan konsep ridha secara berbeda. Seperti halnya ulama Irak dan
Khurasan yang berbeda mengenai konsep ini, apakah ia termasuk bagian dari maqam
atau hal. Maqam ridha adalah ajaran untuk menanggapi dan mengubah segala bentuk
penderitaan, kesengsaraan menjadi kegembiraan dan kenikmatan. Dalam kitab
al-Risalah al-Qusyairiyah disebutkan beberapa pendapat ulama mengenai makna
ridha, diantaranya pendapat Ruwaim yang mengatakan bahwa: الرضا: أن لو جعل الله جهنم على يمينه ما سأل أن يحولها إلى يساره.
, sedang Abu Bakar Ibn Thahir berkata: الرضا: إخراج
الراهية من القلب، حتى لا يكون فيه إلا فرح وسرور. . Menurut Imam
al-Gazali ridha merupakan buah dari mahabbah. Dalam perspektif tasawuf ridha
berarti sebuah sikap menerima dengan lapang dada dan senang terhadap apapun
keputusan Allah kepada seorang hamba, meskipun hal tersebut menyenangkan atau
tidak. Sikap ridha merupakan buah dari kesungguhan seseorang dalam menahan hawa
nafsunya.
C. Ahwal
Ahwal adalah bentuk jamak
dari ‘hal’ yang biasanya diartikan sebagai keadaan mental (mental states) yang
dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya. Ibn Arabi menyebut
hal sebagai setiap sifat yang dimiliki seorang salik pada suatu waktu dan tidak
pada waktu yang lain, seperti kemabukan dan fana’. Eksistensinya bergantung
pada sebuah kondisi. Ia akan sirna manakala kondisi tersebut tidak lagi ada.
Hal tidak dapat dilihat dilihat tetapi dapat dipahami dan dirasakan oleh orang
yang mengalaminya dan karenanya sulit dilukiskan dengan ungkapan kata.
Sebagaimana halnya
dengan maqam, hal juga terdiri dari beberapa macam. Namun, konsep pembagian atau formulasi
serta jumlah hal berbeda-beda dikalangan ahli sufi. Diantara macam-macam hal
yaitu; muraqabah, khauf, raja’, syauq,
Mahabbah, tuma’ninah, musyahadah, yaqin.[12]
1. Muraqabah
Secara etimologi
muraqabah berarti menjaga atau mengamati tujuan. Adapun secara terminologi muraqabah
adalah salah satu sikap mental yang mengandung pengertian adanya kesadaran diri
bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dan merasa diri diawasi oleh
penciptanya. Pengertian tersebut sejalan dengan pendangan al-Qusyairi bahwa
muraqabah adalah keadaan mawas diri kepada Allah dan mawas diri juga berarti
adanya kesadaran sang hamba bahwa Allah senantiasa melihat dirinya.
2. Khauf
Menurut al-Qusyairi,
takut kepada Allah berarti takut terhadap hukumnya. Al-khauf adalah suatu sikap
mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya atau rasa
takut dan khawatir jangan sampai Allah merasa tidak senang kepadanya. Ibn
Qayyim memandang khauf sebagai perasaan bersalah dalam setiap tarikan nafas.
Perasaan bersalah dan adanya ketakutan dalam hati inilah yang menyebabkan
orang lari menuju Allah.
3. Raja’
Raja’ bermakna
harapan. Al-Gazali memandang raja’ sebagai senangnya hati karena menunggu sang
kekasih datang kepadanya. Sedangkan menurut al-Qusyairi raja’ adalah
keterpautan hati kepada sesuatu yang diinginkannya terjadi di masa akan datang.
Sementara itu, Abu Bakar al-Warraq menerangkan bahwa raja’ adalah kesenangan
dari Allah bagi hati orang-orang yang takut, jika tidak karena itu akan
binasalah diri mereka dan hilanglah akal mereka.
4. Syauq
Syauq bermakna
lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Para ahli sufi menyatakan bahwa syauq
merupakan bagian dari mahabbah. Sehingga pengertian syauq dalam tasawuf
adalah suasana kejiwaan yang menyertai mahabbah. Rasa rindu ini memancar dari
kalbu karena gelora cinta yang murni. Untuk menimbulkan rasa rindu kepada Allah
maka seorang salik terlebih dahulu harus memiliki pengetahuan dan pengenalan
terhadap Allah.
5. Mahabbah
Cinta (mahabbah)
adalah pijakan atau dasar bagi kemuliaan hal. Seperti halnya
taubat yang menjadi dasar bagi kemuliaan maqam. Al-Junaid menyebut mahabbah
sebagai suatu kecenderungan hati. Artinya, hati seseorang cenderung kepada
Allah dan kepada segala sesuatu yang datang dariNya tanpa usaha.
6. Tuma’ninah
Secara bahasa
tuma’ninah berarti tenang dan tentram. Tidak ada rasa was-was atau khawatir,
tak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran karena ia telah mencapai
tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Menurut al-Sarraj tuma’ninah sang
hamba berarti kuat akalnya, kuat imannya, dalam ilmunya dan bersih ingatannya.
Seseorang yang telah mendapatkan hal ini sudah dapat berkomunikasi langsung dengan Allah SWT.
7. Musyahadah
Dalam perspektif
tasawuf musyahadah berarti melihat Tuhan dengan mata hati, tanpa keraguan sedikitpun, bagaikan
melihat dengan mata kepala. Hal ini berarti dalam dunia tasawuf seorang sufi
dalam keadaan tertentu akan dapat melihat Tuhan dengan mata hatinya. Musyahadah
dapat dikatakan merupakan tujuan akhir dari tasawuf, yakni menemukan puncak
pengalaman rohani kedekatan hamba dengan Allah.
8. Yaqin
Al-yaqin berarti
perpaduan antara pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa cinta serta
rindu yang mendalam pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya perjumpaan secara
langsung dengan Tuhannya. Dalam pandangan al-Junaid yaqin adalah tetapnya ilmu
di dalam hati, ia tidak berbalik, tidak berpindah dan tidak berubah. Menurut
al-Sarraj yaqin adalah fondasi dan sekaligus bagian akhir dari seluruh ahwal.
Dapat juga dikatakan bahwa yaqin merupakan esensi seluruh ahwal .
AJARAN TASAWUF PADA
MASA AWAL, TOKOH, DAN FAKTOR YANG MELATARBELAKANGINYA[13]
Menurut al-Dzahabi
(1987: 23), istilah sufi mulai dikenal pada abad ke-2 Hijriyah, tepatnya tahun
150 H. Orang pertama yang dianggap memperkenalkan istilah ini
kepada dunia Islam adalah Abu Hasyim al-Sufi atau akrab disebut juga Abu
Hasyim al-Kufi, tetapi pendapat lain menyebutkan bahwa tasawuf baru muncul di
dunia Islam pada awal abad ke-3 hijriyah yang dipelopori oleh al-Kurkhi,
seorang masihi asal Persia. Tokoh ini mengembangkan pemikiran bahwa cinta
(mahabbah) kepada Allah adalah sesuatu yang tidak diperoleh melalui belajar,
melainkan karena faktor pemberian (mauhibah) dan keutamaan dari-Nya.
Adapun tasawuf baginya adalah mengambil kebenaran-kebenaran hakiki. Tesis ini
kemudian menjadi suatu asas dalam perkembangan tasawuf
di dunia Islam (Al Taftazani, 1979:
72). Beberapa tokoh lainnya yang muncul pada periode ini adalah al-Suqti
(w.253 H), al- Muhasibi (w. 243 H) dan Dzunnun al-Hasri (w. 245 H).
Tasawuf kemudian
semakin berkembang dan meluas ke penjuru dunia Islam pada abad ke-4
H dengan sistem ajaran yang semakin
mapan. Belakangan, al- Ghazali menegaskan tasawuf atau
hubbullah (cinta kepada Allah) sebagai keilmuan yang memiliki kekhasan
tersendiri di samping filsafat dan ilmu kalam. Pada abad ke-4 dan ke-5 hijriyah
inilah konflik pemikiran terjadi antara kaum sufi dan para fuqaha’.
Umumnya, kaum sufi dengan berbagai tradisi dan disiplin spiritual yang
dikembangkan-nya dipandang oleh
para fuqaha’ sebagai
kafir, zindiq dan menyelisihi aturan aturan
syari’at. Konflik ini terus berlanjut pada abad berikutnya, terlebih lagi
ketika corak falsafi masuk dalam
tradisi keilmuan tasawuf dengan tokoh-tokohnya seperti
Ibn al-’Arabi dan Ibn al-Faridl pada abad ke-7 H .
Realitas inilah yang
kemudian menimbulkan pembedaan dua corak dalam dunia tasawuf, yaitu antara
tasawuf ‘amali (praktis) dan tasawuf nazari (teoritis). Tasawuf praktis
atau yang disebut juga tasawuf sunni
atau akhlaki merupakan bentuk tasawuf yang memagari
diri dengan al-Qur’an dan al-Hadith secara ketat dengan penekanan pada aspek
amalan dan mengaitkan antara ahwal dan maqamat.
Sedangkan
tasawuf teoritis atau juga
disebut tasawuf falsafi13
cenderung menekankan pada aspek pemikiran
metafisik dengan memadukan antara filsafat dengan
ketasawufan (Shihab, 2001: 120). Di antara tokoh yang dianggap
sebagai pembela tasawuf sunni adalah al-Haris al-Muhasibi (w. 243H/858 M),
al-Junaid (w. 298/911), al-Kalabadzi (385/995), Abu Talib al-Makki (386/996),
Abu al-Qasim Ab al-Karim al-Qusyaeri (465/1073), dan alGhazali (505/1112).
Sedangkan tokoh yang sering disebut sebagai penganut
tasawuf falsafi adalah Abu Yazid al-Bustami
(261/875), al-Hallaj (309/992), al-Hamadani (525/1131),
al-Suhrawardi al-Maqtul (587/1191) dengan puncaknya pada era Ibn
‘Arabi14.
Secara mendasar
kemunculan pemikiran tasawuf adalah sebagai
reaksi terhadap kemewahan hidup dan ketidakpastian nilai
(Al-Afifi, 1989: 20). Tetapi secara umum tasawuf pada
masa awal perkembangannya mengacu pada tiga alur pemikiran: (1) gagasan tentang
kesalehan yang menunjukkan keengganan terhadap kehidupan urban
dan kemewahan; (2) masuknya gnostisisme
Helenisme yang mendukung corak kehidupan
pertapaan daripada aktif di masyarakat; dan
(3) masuknya pengaruh Buddhisme yang juga memberi penghormatan pada sikap
anti- dunia dan sarat dengan kehidupan asketisme. Terdapat 3 sasaran antara
dari tasawuf: (1) pembinaan aspek moral; (2) ma’rifatullah melalui metode kasyf
al-hijab dan (3) bahasan tentang sistem pengenalan dan
hubungan kedekatan antara Tuhan dan makhluk.
Konsep kedekatan dalam hal ini dapat berarti: merasakan kehadiran-Nya
dalam hati, berjumpa dan berdialog dengan-Nya, ataupun penyatuan makhluk dalam iradah Tuhan (Al-Afifi, 1989: 20).
dalam hati, berjumpa dan berdialog dengan-Nya, ataupun penyatuan makhluk dalam iradah Tuhan (Al-Afifi, 1989: 20).
Dari segi
sejarah, sufisme sebenarnya dapat dibaca
dalam 2 tingkat: (1) sufisme sebagai
semangat atau jiwa yang hidup dalam
dinamika masyarakat muslim; (2) sufisme yang
tampak melekat bersama masyarakat melalui
bentuk- bentuk kelembagaan termasuk tokoh-tokohnya. Perluasan wilayah
kekuasaan Islam tidak semata-mata berimplikasi pada
persebaran syiar Islam melainkan juga
berimbas pada kemakmuran yang melimpah ruah. Banyak di kalangan sahabat yang
dahulunya hidup sederhana kini menjadi berkelimpahan harta benda. Menyaksikan
fenomena kemewahan tersebut muncul reaksi dari beberapa sahabat
seperti Abu Dzar al-Ghifari, Sa’id bin Zubair, ‘Abd Allah bin ‘Umar
sebagai bentuk “protes” dari perilaku hedonistic yang menguat pada masa
kekuasaan Umayyah.
Disintegrasi
sosial yang parah mempengaruhi umat mencari
pedoman doktrinal yang mampu memberi mereka ketenangan jiwa dan sekaligus
memberi kesadaran yang mengukuhkan ikatan yang damai sesame muslim di antara
mereka (Effendi, 1993: 34). Secara garis besar perkembangan tarekat dapat
dibaca melalui tiga tahapan berikut: (1) khanaqah,
yakni terbentuknya komunitas syaikh-murid dalam aturan
yang belum ketat untuk melakukan disiplin-disiplin spiritual tertentu. Gerakan
yang bercorak aristokratis ini berkembang sekitar
abad ke-10 M; (2) tariqah, yakni
perkembangan lebih lanjut di abad
berikutnya dimana formulasi ajaran-ajaran, peraturan dan
metode-metode ketasawufan mulai terbentuk mapan; (3) taifa,
yakni masa persebaran ajaran dan pengikut dari
suatu tarekat yang melestarikan ajaran syaikh tertentu
(Effendi, 1993: 67).
Tarekat adalah
lembaga tempat berhimpunnya orang-orang yang
melalui ikatan hirarkis tertentu sebagai murshid-murid, menjalani
disiplin-disiplin spiritual tertentu untuk
menemukan kejernihan jiwa dan
hati. Varian tarekat dapat
disejajarkan sebagai mazhab dalam bidang
tasawuf sebagaimana muncul pula varian-varian mazhabi
dalam bidang pemikiran kalam dan fikih.
Mengenai kelompok
tasawuf ada dua pendapat. Pertama, mereka adalah kelompok
spiritual dalam umat Islam yang berada di tengah-tengah dua
kelompok lainnya yang disebut kelompok formal
dan kelompok Intelektual. Kelompok intelektual ini terdiri
dari ulama-ulama mutakallim (ahli
teologi), sedangkan kelompok grave terdiri dari ulama-ulama muhaddits dan
fuqaha. Kedua, bahwa tasawuf itu hanyalah suatu
kecenderungan spiritual yang membentuk etika
moral dan lingkungan sosial khusus. Sehingga seharusnya kita
katakan seorang muhaddttsin sekaligus juga ulama
sufiyah, begitu pula seorang mutakallimin sekaligus juga ulama sufiyah.
Ajaran
Tasawuf pada dasarnya merupakan
bagian dari prinsip-prinsip Islam sejak
awal. Ajaran ini tak ubahnya merupakan upaya mendidik
diri dan keluarga untuk hidup bersih dan sederhana,
serta patuh melaksanakan ajaran-ajaran agama dalam
kehidupannya sehari-hari. Ibnu Khaldun
mengungkapkan, pola dasar tasawuf
adalah kedisiplinan beribadah, konsentrasi tujuan hidup
menuju Allah (untuk mendapatkan ridla-Nya), dan
upaya membebaskan diri dari keterikatan mutlak pada kehidupan
duniawi, sehingga tidak diperbudak harta
atau tahta, atau kesenangan duniawi lainnya.
Kecenderungan seperti ini secara umum terjadi pada kalangan
kaum muslim angkatan pertama. Pada angkatan berikutnya
(abad 2 H) dan seterusnya, secara berangsur-angsur terjadi pergeseran nilai
sehingga orientasi kehidupan duniawi menjadi lebih
berat. Ketika itulah angkatan pertama kaum muslim yang mempertahankan
pola hidup sederhananya lebih dikenal sebagai kaum sufiyah.
Keadaan
tersebut berkelanjutan hingga mencapai
puncak perkembangannya pada akhir abad 4 H. Dalam masa tiga
abad itu dunia Islam mencapai kemakmuran yang melimpah, sehingga di
kalangan atas dan menengah terdapat pola kehidupan mewah, seperti kita dapat
simak dalam karya sastra “cerita seribu satu malam” di
masa kejayaan kekhalifahan Abbasiyah. Pada masa itu gerakan tasawuf
juga mengalami perkembangan yang tidak terbatas hanya pada praktek
hidup bersahaja saja, tapi mulai ditandai juga
dengan berkembangnya suatu cara
penjelasan teoritis yang kelak menjadi suatu disiplin ilmu yang
disebut ilmu Tasawuf.
Pada tingkat
perkembangan inilah muncul beberapa terma yang dulunya tidak lazim
dipakai dalam ilmu-ilmu keIslaman. Upaya penalaran para ulama muhaddits dan
fuqaha dalam menjabarkan prinsip-prinsip ajaran Islam
mengenai penataan kehidupan pribadi dan masyarakat yang sudah
berkembang selama tiga abad—dengan munculnya
disiplin ilmu Tasawuf—terjadilah pemisahan antara dua pola penalaran,
yaitu produk penalaran ulama muhaddits dan fuqaha yang disebut syari’ah,
dan produk penalaran ulama tasawuf yang disebut haqiqah.
Selanjutnya para fuqaha joke disebut ahli syari’ah dan para ulama tasawuf
disebut ahli haqiqah.
Di Indonesia kita
lebih banyak mengenal ajaran tasawuf lewat lembaga keagamaan
non-formal yang namanya “tarekat” asal kata thariqah. Di Jawa Timur
misalnya, kita jumpai Tarekat Qadiriyah
yang cukup dikenal,
disamping Tarekat Naqsyabandiyah, Syadziliyah, Tijaniyah dan
Sanusiyah. Dalam satu dasawarsa terakhir ini,
kita melihat adanya langkah lebih maju dalam
perkembangan tarekat-tarekat tersebut dengan
adanya koordinasi antara berbagai macam tarekat itu lewat
ikatan yang dikenal dengan nama Jam’iyah Ahl al-Thariqah
al-Mu’tabarah. Pada tahun lima
puluhan, pemerintah Mesir menempatkan pembinaan
dan koordinasi tarekat-terekat tersebut di
bawah Departemen Bimbingan Nasional (Wizarah
al-Irsyad al-Qaumi). Pertimbangannya ialah,
bagaimanapun keberadaan penganut-penganut tarekat itu merupakan
bagian dari potensi bangsa/umat, yang berhak
mendapatkan perlindungan dalam rangka tertib kemasyarakatan suatu negara.
Untuk lebih mengenal
adanya tarekat itu, ada baiknya kita
mempertanyakan kapankah munculnya
tarekat (al-thuruq al-shufiyah) itu dalam sejarah
perkembangan gerakan tasawuf Dr. Kamil Musthafa al-Syibi dalam
tesisnya tentang gerakan tasawuf dan gerakan syi’ah mengungkapkan, tokoh
pertama yang memperkenalkan sistem thariqah (tarekat)
itu Syekh Abdul Qadir al-Jailani (w. 561 H/1166 M) di
Baghdad. Ajaran tarekatnya menyebar ke seluruh penjuru
dunia Islam, yang mendapat sambutan luas di
Aljazair, Ghinia dan Jawa. Sedangkan di Mesir,
tarekat yang banyak pengikutnya Tarekat Rifa’iyyah yang dibangun Sayid Ahmad
al-Rifa’i. Dan tempat ketiga diduduki tarekat ulama penyair
kenamaan Parsi, Jalal al-Din al-Rumi (w. 672 H/1273 M). Beliau membuat
tradisi baru dengan menggunakan alat-alat musik
sebagai sarana dzikir. Kemudian sistem ini berkembang terus dan meluas.
Dalam periode
berikutnya muncul tarekat al-Syadziliyah yang mendapat sambutan luas di Maroko
dan Tunisia khususnya, dan dunia Islam bagian Timur pada umumnya. Yang
juga perlu dicatat di sini ialah munculnya Tarekat
Sanusiyah yang mempunyai disiplin tinggi mirip
disiplin militer. Di bawah syeikhnya yang
terakhir, Sayyid Ahmad al-Syarif al-Sanusi berhasil
menggalang satu kekuatan perlawanan rakyat
yang mampu memerangi kolonialis Italia, Perancis dan Inggris
secara berturut-turut, dan akhirnya membebaskan
wilayah Libya. Mungkin sifat keras dari iklim yang
dibentuk Tarekat Sanusiyah inilah yang mewarnai
Mu’ammar al-Qadafi mengambil alih kekuasaan dan
berkuasa sampai saat ini sebagai Kepala Negara tersebut.
AJARAN TASAWUF PADA
MASA BERIKUT, TOKOH, DAN FAKTOR YANG MELATARBELAKANGINYA
Sejarah perkembangan
Tasawuf Sebagaimana telah kami kemukakan didepan bahwa istilah tasawuf tidak
dikenal dimasa Nabi SAW dan para sahabatnya. Tetapi yg dikenal adl zuhud dan
wara` . Istilah sufi pertama kali digunakan yaitu kepada Abu Hasyim Al Kufi dan
ia orang yg pertama kali membangun tempat ibadah khusus bagi sufi di Ramlah
wilayah Syam . Meskipun demikian orang sufi selalu menisbatkan tasawuf kepada
Nabi SAW melewati Ali dilanjutkan oleh Hasan Al-Basri dst.
Sederetan nama sahabat
yg menjadi rujukan ahli tasawuf ; Abu Bakar As-Shidiq Umar bin Khattab Utsman
bin Affan Ali bin Abi Thalib Salman Al Farisi Abu Dzar Al Ghifari Miqdad bin Al
Aswaddll. Kemudian pada masa tabiin terkenal nama Hasan Al Basri dan Sofyan
Al-Tsauri . Baru kemudian murid-murid Abdul Wahid bin Yazid pengikut Hasan Al
Basri membangun tempat khusus utk warga sufi disebut duwairah demikian pendapat
Ibnu Taimiyah.
Pada abad kedua
dikenal nama-nama Ibrahim bin Adham Al Balakhi dan Rabiah Al Adawiyah . Ciri
menonjol pada pengikut Hasan Al Basri adl rasa takut yg berlebih kepada Allah
selain zuhud dan banyak ibadah sementara pada Rabiah Al Adawiyah lbh menonjol
rasa muhabbah kepada Allah SWT. Sementara para ulama menyebutkan perlunya
keseimbangan agar tidak menyimpang kata mereka “Barang siapa menyembah Allah
SWT hanya dgn rasa muhabbah saja dia menjadi zindik barangsiapa menyembah Allah
SWT hanya dgn rasa takut maka dia menjadi khawariij dan barang siapa menyembah
Allah SWT dgn harapan maka dia menjadi murjiah dan barang siapa menyembah Allah
SWT dgn cinta rasa takut dan harapan maka ia mukmin sejati”.
Pada abad ketiga
tasawuf semakin solid dan berkembang dgn tokoh sentral Abu Sulaiman Addaaroony
Ahmad Al Hawary Abul Faidh Zunnun Al Misri Bisyir Al Hafi Abu Bakar Al-Syibli
Al Haris Al Muhasibi Assirri Assiqthi Abul Yazid Al Busthami Al-Junaid dan Al
Hallaj.
Pada masa ini dan
sesudahnya tasawuf berkembang menjadi kelompok-kelompok yg ditokohi oleh
seorang syaikh. Seperti diungkap oleh Al Hajwairi ” Pada masa itu lahirlah
tarekat-tarekat sufi berjumlah duabelas dan masing-masing menisbatkan dirinya
kepada seorang syaikh dari syaikh-syaikh abad tiga dan empat”.
Pada abad keempat
tasawuf lbh berkembang lagi sehingga mereka menyebutkan dirinya sebagai ahli
hakekat/ bathin sementara ulama lain terutama ulama fiqh disebut sebagai ahli
dhohir. Pada masa inilah trend sufi ditetapkan mempunyai empat tahapan atau
empat ilmu ;
Ilmu syariah
Ilmu Tariqoh
Ilmu Hakekat
Ilmu Ma`rifat
Pada abad kelima dan seterusnya tasawuf
sangat dipengaruhi oleh paham syiah dan filsafat.
Ajaran Sufi Ajaran
sufi mengandung usaha mujahadah dan riyadhoh dimana seorang salik harus
melewati maqomat dan ahwaal. Maqomat menurut Assarraj Aththusi dalam kitab
Alluma` yaitu kondisi ketaatan seorang hamba dihadapan Allah .Maka dia menyebut
maqom berupa taubat wara` zuhud . Kemudian salik akan mendapatkan ahwaal yaitu
kondisi hati yg bersih krn banyak berdzikir berupa muroqobah tenang menyaksikan
kebesaran Allah yakin dll.
Ajaran sufi yg paling
banyak ditentang adl konsep hulul yg dicetuskan oleh Abu Yazid Al Busthami
dimana Allah masuk kedalam diri seorang sufi sehingga dia mengucapkan syatahat
yaitu ungkapan-ungkapan irrasional yg tidak bisa dipahami layaknya orang gila.
Hal itu ditentang oleh para ulama krn dianggap bertentangan dgn aqidah Islam
dan ajaran seperti itu tidak dikenal dimasa Nabi SAW dan para sahabatnya.
Konsep kedua yg ditentang adl wihdatul wujud menyatu dgn Allah SWT. Konsep ini
dicetuskan oleh Al Hallaj yg ditentang oleh ulama-ulama dimasanya kemudian dia
diajukan kepengadilan krn tidak mau bertaubat akhirnya dihukum mati.
A. Persamaannya
Tasawuf ialah
penyucian “hati” dan penjagaannya dari setiap cedera, dan bahwa produk akhirya
ialah hubungan yang benar dan harmonis antara manusia dan Penciptanya. Jadi,
sufi adalah orang yang telah dimampukan Allah untuk menyucikan “hati”-nya dan
menegakkan hubungannya dengan Dia dan ciptaan-Nya dengan melangkah pada jalan
yang benar, sebagaimana dicontohkan dengan sebaik-baiknya oleh Nabi Muhammad
saw. “Untuk mencapai hal tersebut, maka diperlukan cara, yakni
metode khusus yang dipakai oleh salik (para penempuh jalan) menuju
Allah Ta’ala melalui tahapan-tahapan/maqamat.[14]
B. Perbedaannya
Tasawuf adalah Ilmu dalam Islam yang mempelajari tentang hati atau disebut juga
syari`ah bathiniah. Ilmu ini dikenal juga dengan Ilmu Siir. Ilmu ini dipelajari
untuk menyelaraskan Ilmu Tauhid (Iman) dan Ilmu Syari`ah (Amal), dengan tujuan akhir menjadikan seorang muslim menjadi
hamba yang muqarrabun (dekat dengan Allah). Sedangkan Ilmu yang dipelajari
dalam tarekat disebut ilmu Tasawuf. Seorang yang menjalankan Tasawuf
disebut Sufi. Dalam menjalankan Tasawuf, dalam sebuah tarekat ada seorang
pembimbing (guru) disebut Mursyid. Dan murid-muridnya disebut Salik (orang yang
berjalan).[15]
C. Hubungan antara Tasawuf dan Tarekat
Tarekat
merupakan intipati pelajaran Ilmu Tasawwuf, yang mana dengannya seseorang
itu dapat menyucikan dirinya dari segala sifat-sifat yang keji dan
menggantikannya dengan sifat-sifat akhlak yang terpuji. Ia juga merupakan Batin
bagi Syari’at yang mana dengannya seseorang itu dapat memahami hakekat
amalan-amalan salih di dalam Agama Islam. Tarekat berasal dari lafal Arab thariqah artinya jalan. Kemudian mereka maksudkan sebagai jalan menuju Tuhan,
Ilmu batin, (tasawuf).
Perkataan Tarekat
(“jalan” bertasawuf yang bersifat praktis).Tarekat tidak membicarakan filsafat
tasawuf, tetapi merupakan amalan (tasawuf) atau
prakarsanya. Pengalaman tarekat merupakan suatu kepatuhan secara ketat kepada
peraturan-peraturan syari`at Islam dan mengamalkannya dengan sebaik-baiknya,
baik yang bersifat ritual maupun sosial, yaitu dengan menjalankan praktek-praktek
dan mengerjakan amalan yang bersifat sunat, baik sebelum maupun sesudah sholat
wajib, dan mempratekkan riyadah.
Dengan demikian,
tampaklah hubungan yang erat antara tasawuf dan tarekat,
bahwa antara keduanya tampak sulit dibedakan dan tak bisa dipisahkan antara
yang satu dengan yang lain. “Tasawuf adalah sebuah ideologi dari institusi yang menaunginya, yaitu tarekat. Atau dengan
kata lain, tarekat merupakan madzhab-madzhab dalam tasawuf. Dan tarekat
merupakan implementasi dari suatu ajaran tasawuf yang kemudian berkembang
menjadi sebuah organisasi sufi dalam rangka mengimplementasikan suatu ajaran
tasawwuf secara bersama-sama”[16]
D. Macam-Macam Tarekat
1. Tarekat Naqsyabandiyah
Tarekat Naqsyabandiyah
didirikan oleh Muhammad Bahauddin An-Naqsabandi Al-Uwaisi Al-Bukhari (w.1389M)
di Turkistan.Tarekat ini merupakan salah satu tarekat sufi yang paling luas
penyebarannya, dan terdapat banyak di wilayah Asia Muslim (meskipun sedikit di
antara orang-orang Arab) serta Turki, Bosnia-Herzegovina, dan wilayah Volga
Ural. Ciri yang menonjol dari Tarekat Naqsyabandiyah adalah
diikutinya syari’at secara ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan
penolakan terhadap musik dan tari, serta lebih mengutamakan berdzikir dalam
hati, dan kecenderungannya semakin kuat ke arah keterlibatan dalam politik
(meskipun tidak konsisten).
Penganut
Naqsyabandiyah mengenal sebelas asas Thariqah. Delapan dari asas itu dirumuskan
oleh ‘Abd al-Khaliq Ghuzdawani, sedangkan sisanya adalah penambahan oleh Baha’
al-Din Naqsyaband. Asas-asasnya ‘Abd al-Khaliq
adalah:Hush dar dam: “sadar sewaktu bernafas”. Nazar bar qadam: “menjaga
langkah”. sewaktu berjalan. Safar dar watan: “melakukan perjalanan di
tanah kelahirannya”. Khalwat dar anjuman: “sepi di tengah keramaian”.
Yad kard: “ingat”, “menyebut”. Terus-menerus
mengulangi nama Allah, dzikir tauhid (berisi formula la ilaha illallah), atau
formula dzikir lainnya yang diberikan oleh guru seseorang, dalam hati atau
dengan lisan. Oleh sebab itu, bagi penganut Naqsyabandiyah, dzikir itu tidak
dilakukan sebatas berjama`ah ataupun sendirian sehabis shalat, tetapi harus
terus-menerus, agar di dalam hati bersemayam kesadaran akan Allah yang
permanen. Baz gasyt: “kembali”,
”memperbarui”. Demi mengendalikan hati supaya tidak condong kepada hal-hal yang
menyimpang (melantur), Nigah dasyt: “waspada”. Yaitu menjaga pikiran dan
perasaan terus-menerus sewaktu melakukan dzikir tauhid. Yad dasyt:
“mengingat kembali”.
Asas-asas Tambahan
dari Baha al-Din Naqsyabandi: Wuquf-i zamani: “memeriksa penggunaan
waktu seseorang”. Wuquf-i ‘adadi: “memeriksa hitungan
dzikir seseorang”. Wuquf-i qalbi: “menjaga hati tetap terkontrol”.
Teknik dasar
Naqsyabandiyah, seperti kebanyakan tarekat lainnya, adalah dzikir yaitu
berulang-ulang menyebut nama Tuhan ataupun menyatakan kalimat la ilaha illallah. Tujuan latihan itu ialah untuk mencapai kesadaran akan
Tuhan yang lebih langsung dan permanen. Pertama sekali, Tarekat Naqsyabandiyah
membedakan dirinya dengan aliran lain dalam hal dzikir yang lazimnya adalah
dzikir diam (khafi, “tersembunyi”, atau qalbi, ” dalam hati”), sebagai lawan
dari dzikir keras (dhahri) yang lebih disukai tarekat-tarekat lain. Kedua,
jumlah hitungan dzikir yang mesti diamalkan lebih banyak pada Tarekat
Naqsyabandiyah dari pada kebanyakan tarekat lain.
Dzikir dapat dilakukan
baik secara berjema`ah maupun sendiri-sendiri. Banyak penganut Naqsyabandiyah
lebih sering melakukan dzikir secara sendiri-sendiri, tetapi mereka yang
tinggal dekat seseorang syekh cenderung ikut serta secara teratur dalam
pertemuan-pertemuan di mana dilakukan dzikir berjema`ah. Di banyak tempat
pertemuan semacam itu dilakukan dua kali seminggu, pada malam Jum’at dan malam
Selasa, di tempat lain dilaksanakan tengah hari sekali seminggu atau dalam selang
waktu yang lebih lama lagi.
Adapun ciri khas dari
tarekat Naqsyabandiyah adalah mengutamakan Jazbah Suluk yang mana dengan
berkat Tawajjuh seorang Syekh yang sempurna akan terhasillah kepada seseorang
penuntut itu beberapa Ahwal dan Kaifiat dimana Zauq dan Shauq penuntut
itu bertambah, merasakan kelazatan khas zikir dan ibadat serta memperoleh
ketenangan dan ketenteraman hati. Seseorang yang mengalami tarikan Jazbah
disebut sebagai Majzub.
Dalam Tarekat
Naqsyabandiyah ini, penghasilan Faidhz dan peningkatan derajat adalah
berdasarkan persahabatan dengan Syekh dan Tawajjuh Syekh. Bersahabat dengan
Syekh hendaklah dilakukan sebagaimana Para Sahabat berdampingan dengan
Baginda Nabi Muhammad SAW. Murid hendaklah bersahabat dengan
Syekh dengan penuh hormat. Sekadar mana kuatnya persahabatan dengan
Syekh, maka dengan kadar itulah cepatnya seseorang itu akan berjalan menaiki
tangga peningkatan kesempurnaan Ruhaniah. Kaedah penghasilan Faidhz dalam
tarekat ini adalah sebagaimana para sahabat menghadiri majelis
Baginda Nabi Muhammad SAW.
Dengan hanya duduk
bersama-sama menghadiri majelis Hadhrat Baginda Nabi Muhammad SAW dengan
hati yang benar dan ikhlas serta penuh cinta biarpun hanya sekali, orang yang
hadir itu akan mencapai kesempurnaan iman pada maqam yang tertinggi. Begitulah
keadaannya apabila seseorang itu hadir dan berkhidmat dalam majelis
Naqsyabandiyah, dengan hati yang benar dan ikhlas, orang yang hadir itu akan
dapat merasakan maqam Syuhud dan ‘Irfan yang akan diperoleh setelah
begitu lama menuruti jalan-jalan tarekat yang lain. Kerana itu para Akabirin
Naqsyabandiyah mengatakan bahwa, “Thariqat kami pada ‘Ain hakikatnya
merupakan Thariqat Para Sahabat”. Dan dikatakan juga, “Dar Tariqah
Ma Mahrumi Nest Wa Har Keh Mahrum Ast Dar Tariqah Ma Na Khwahad Aamad.”,
maksudnya, “Dalam Thariqat kami siapapun pun tidak diharamkan dan barangsiapa
yang telah diharamkan dalam Thariqat kami pasti tidak akan dapat datang.”
Di dalam tarekat
Naqsyahbandiyah, Dawam Hudhur dan Agahi (sentiasa berjaga-jaga) menduduki maqam
yang suci dimana di sisi Para Sahabat dikenali sebagai Ihsan dan
menurut istilah Para Sufiyah disebut Musyahadah, Syuhud, Yad Dasyat atau
‘Ainul Yaqin, maksudnya ia merupakan hakikat: “Bahwa engkau menyembah
Allah seolah-olah engkau melihat Nya”
2. Tarekat Qodiriyah
Qodiriyah adalah nama
sebuah tarekat yang didirikan oleh Syeikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Jaelani Al Baghdadi (1077-1166M). Tarekat Qodiriyah berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria kemudian diikuti oleh jutaan umat muslimyang tersebar di Yaman,
Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia.
Syekh Muhyiddin Abu
Muhammad Abdul Qodir Al-Jaelani Al-Baghdadi, ini adalah urutan ke 17 dari
rantai mata emas mursyid tarekat. Tarekat Qodiriyah ini dikenal luwes,
yaitu bila murid sudah mencapai derajat syekh, maka murid tidak mempunyai suatu
keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan
modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak pada
ungkapan Abdul Qadir Jaelani sendiri, “Bahwa murid yang sudah
mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syeikh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya.”
Tarekat ini
mementingkan kasih sayang terhadap semua makhluk, rendah hati dan
menjauhi fanatisme dalam keagamaan maupun politik. Keistimewaan tarekatnya
ialah zikir dengan menyebut-nyebut nama Tuhan. Ada anggapan membaca
Manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jilani pada tanggal 10 malam tiap bulan bisa
melepaskan kemiskinan. Karena itu manaqibnya populer, baik di Jawa maupun
Sumatera. Adapun asas-asas dalam tarekat Qodiriyah ialah bercita-cita tinggi,
melaksanakan cita-cita, membesarkan nikmat, memelihara kehormatan dan
memperbaiki khidmat kepada Allah SWT. Sedangkan wirid dan zikir yang dilafalkan
ialah “Lailahaillallahu” dengan berdiri sambil
bersenam, mengepalkan tangan ke samping, ke depan, ke muka dengan badan yang
sigap, dan putus ingatan dengan yang lain, kecuali hanya kepada Allah SWT.
Telah disebutkan pada pembahasan
di muka, bahwa ajaran Akhlaq dan Tasawuf terdapat dalam sendi ajaran Ihsan,
maka tasawuf itu sendiri merupakan pengamalan hamba yang melahirkan kebajikan
rohani, untuk mendapatkan ma’rifah kepada Allah SWT.
Mengenai kedudukan
Tasawuf dalam Islam, terdapat beberapa pendapat yang mengatakan, bahwa hal itu
tidak termasuk bagian integral dari ajaran Islam, dengan mengemukakan
argumentasi sebagai berikut:
1. Tidak terdapat satupun kata Tasawuf dan Sufi dalam Al-Qur’an maupun Hadith;
2. Banyak istilah Tasawuf yang sering digunakan oleh Sufi, tidak ditemukan
dalam Al-Qur’an dan Hadith;
3. Timbulnya istilah Tasawuf dan Sufi beserta dengan ajarannya, baru dikenal
pada abad ketiga Hijriyah;
4. Ajaran Tasawuf yang diamalkan oleh orang Islam, mirip dengan ajaran Mistik
yang telah diamalkan oleh umat terdahulu.
Penulis tidak
sependapat dengan keterangan di muka, dan tetap menganggap bahwa Tasawuf
merupakan bagian dari ajaran Islam, yang sama dengan kedudukan akhlaq, meskipun
dari sisi lain ada perbedaannya.
Ajaran Tasawuf dalam
Islam, memang tidak sama kedudukan hukumnya dengan rukun-rukun Iman dan
rukun-rukun Islam yang sifatnya wajib, tetapi ajaran Tasawuf bersifat sunnat.
Maka Ulama Tasawuf sering menamakan ajarannya dengan istilah “Fadailu al-A’mal”
(amalan-amalan yang hukumnya lebih afdal), tentu saja maksudnya amalan sunnat
yang utama.
Memang harus diakui
bahwa tidak ada satupun ayat atau Hadith yang memuat kata Tasawuf atau Sufi,
karena istilah ini baru timbul ketika Ulama Tasawuf berusaha membukukan ajaran
itu, dengan bentuk ilmu yang dapat dibaca oleh orang lain. Upaya Ulama Tasawuf
memperkenalkan ajarannya lewat kitab-kitab yang telah dikarangnya sejak abad
ketiga Hijriyah, dengan metode peribadatan dan istilah-istilah (symbol Tasawuf)
yang telah diperoleh dari pengalaman batinnya, yang memang metode dan istilah
itu tidak didapatkan teksnya dalam Al-Qur’an dan Hadith. Tetapi sebenarnya
ciptaan Ulama Tasawuf tentang hal tersebut, didasarkan pada beberapa perintah
Al-Qur’an dan Hadith, dengan perkataan “Udhkuru” atau “Fadhkuru”. Dari perintah
untuk berzikir inilah, Ulama Tasawuf membuat suatu metode untuk melakukannya
dengan istilah “Suluk”. Karena kalau tidak didasari dengan metode tersebut,
maka tidak ada bedanya dengan akhlaq mulia terhadap Allah. Jadi bukan lagi
ajaran Tasawuf, tetapi masih tergolong ajaran Akhlaq.
Dan kalau dikatakan
lagi, bahwa ajaran Tasawuf sebenarnya termasuk kelanjutan dari ajaran Mistik
umat terdahulu, penulis memandang bahwa kemiripannya tidak berarti bahwa
Tasawuf dalam Islam adalah Mistik umat terdahulu, tetapi memang banyak ajaran
umat terdahulu masih dipertahankan oleh Islam; misalnya ajaran tentang
perkawinan, khitanan, jual-beli, sewa-menyewa, pegadaian dan sebagainya.
Untuk melihat hal ini,
perlu kita memperhatikan watak ajaran Islam yang berfungsi untuk melestarikan
ajaran maupun tradisi umat terdahulu, meskipun kadang-kadang masih dilakukan
penyempurnaan untuk menyesuaikan dengan kondisi masyarakat Islam yang
menggunakannya.
Kemudian watak ajaran
Islam yang lain, adalah menggantikan ajaran umat terdahulu dengan ajaran yang
baru, kalau ajaran atau tradisi itu sangat berbahaya terhadap martabat manusia,
merusak kesehatannya, serta mengganggu tatanan masyarakatnya; misalnya larangan
berzina, minum khamar, mencuri dan sebagainya.
Lalu watak ajaran
Islam yang lain lagi, adalah menciptakan suatu ajaran baru, yang sebenarnya
tidak pernah ada pada umat terdahulu, dan hal itu merupakan kesempurnaan ajaran
Islam dibandingkan dengan ajaran agama yang mendahuluinya. Maka tidaklah
berarti bahwa ajaran Tasawuf yang mempunyai tradisi sama dengan tradisi mistik,
sehingga dianggap bukan ajaran Islam.
Memang kalau ajaran
Tasawuf itu hanya dilihat dari metodenya, yang sering disebut suluk, tentu
tidak ada keterangannya di dalam Al-Qur’an maupun dalam Hadith, karena hal itu
merupakan penetapan ulama Tasawuf, yang barangkali dapat disamakan dengan hasil
ijtihad Fuqaha dalam bidang hukum. Tentu saja hasil ijtihad itu juga tidak
ditemukan teksnya secara nyata dalam Al-Qur’an maupun dalam Hadith, namun bukan
berarti bahwa hal itu berada di luar ajaran Islam.
Ulama Tasawuf, yang
sering juga disebut “Ulama’ al-Muhaqqin” membuat tata cara peribadatan untuk
mencapai tujuan Tasawuf, didasarkan atas konsepsi dan motivasi beberapa ayat
Al-Qur’an dan Hadith, antara lain berbunyi[17]:
Artinya: Sesungguhnya
kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian kami
kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). Q. S. At-Tiin: 4-5.
Artinya: Hai orang-orang yang beriman;
berdhikirlah (dengan) menyebut (nama) Allah, dhikir yang sebanyak-banyaknya.
Dan bertasbhilah kepada-Nya di waktu pagi dan petang. Q. S. Al-Ahzab: 41-42.
Artinya: Sembahlah Allah, seolah-olah
engkau melihat-Nya; maka apabila engkau tidak dapat melihat-Nya, maka Ia pasti
melihatmu. H. R. Bukhary Muslim, yang bersumber dari Abu Hurairah.
Dalam ayat pertama,
diterangkan bahwa manusia diciptakan oleh Allah dengan sebaik-baik kejadian,
namun karena perbuatan manusia itu sendiri, maka Allah mengembalikannya kepada
tempat yang sangat hina. Tempat inilah yang dimaksudkan oleh Sufi sebagai
neraka. Dan untuk menghindarinya, maka Sufi membuat tata cara mengabdikan diri kepada
Allah, yang disebut dengan “Suluk”, di mana di dalamnya diwarnai oleh zikir,
sebagaimana anjuran dalam ayat kedua di muka, dengan kalimat “Udhkurullah
Dhikran Katsira”… Sehingga Salik (peserta suluk) dapat mencapai tujuan
Tasawufnya, yang disebut Ma’rifah; yaitu suatu pengenalan batin terhadap Allah,
yang disebut dalam hadith di muka, sebagai perkataan pengabdian hamba kepada
Allah, yang seolah-olah dapat melihat-Nya (A’budillah Kannaka Tarahu …).
Keterangan inilah yang
memberikan gambaran, bahwa ajaran Tasawuf termasuk ajaran Islam,yang tercakup
dalam sendi Ihsan, yang berfungsi untuk memperkuat pengamalan sendi Aqidah
(Keimanan) dan sendi Shari’ah. Maka sering kita jumpai pembagian Tasawuf
menjadi tiga macam, yaitu:
1. Tasawuf Aqidah; yaitu ruang lingkup pembicaraan Tasawuf yang menekankan
masalah-masalah metafisis (hal-hal yang ghaib), yang unsur-unsurnya adalah
keimanan terhadap Tuhan, adanya Malaikat, Syurga, Neraka dan sebagainya. Karena
setiap Sufi menekankan kehidupan yang bahagia di akhirat, maka mereka
memperbanyak ibadahnya untuk mencapai kebahagiaan Syurga, dan tidak akan
mendapatkan siksaan neraka. Untuk mencapai kebahagiaan tersebut, maka Tasawuf
Aqidah berusaha melukiskan Ketunggalan Hakikat Allah, yang merupakan
satu-satunya yang ada dalam pengertian yang mutlak. Kemudian melukiskan alamat
Allah SWT, dengan menunjukkan sifat-sifat ketuhanan-Nya. Dan salah satu
indikasi Tasawuf Aqidah, ialah pembicaraannya terhadap sifat-sifat Allah, yang
disebut dengan “Al-Asman al-Husna”, yang oleh Ulama Tarekat dibuatkan zikir
tertentu, untuk mencapai alamat itu, karena beranggapan bahwa seorang hamba
(Al-‘Abid) bisa mencapai hakikat Tuhan lewat alamat-Nya (sifat-sifat-Nya).
2. Tasawuf Ibadah; yaitu Tasawuf yang menekankan pembicaraannya dalam masalah
rahasia ibadah (Asraru al-‘Ibadah), sehingga di dalamnya terdapat pembahasaan
mengenai rahasia Taharah (Asraru Taharah), rahasia Salat (Asraru al-Salah),
rahasia Zakat (Asraru al-Zakah), rahasia Puasa (Asrarus al-Shaum), rahasia
Hajji (Asraru al-Hajj) dan sebagainya. Di samping itu juga, hamba yang
melakukan ibadah, dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:
a. Tingkatan orang-orang biasa (Al-‘Awam), sebagai tingkatan pertama;
b. Tingkatan orang-orang istimewa (Al-Khawas), sebagai tingkatan kedua;
c. Tingkatan orang-orang yang teristimewa atau yang luar biasa (Khawas
al-Khawas), sebagai tingkatan ketiga.
Kalau tingkatan
pertama dimaksudkan sebagai orang-orang biasa pada umumnya, maka tingkatan
kedua dimaksudkan sebagai para wali (Al-Auliya’), sedangkan tingkatan ketiga
dimaksudkan sebagai para Nabi (Al-Anbiya’).
Dalam Fiqh,
diterangkan adanya beberapa syarat dan rukun untuk menentukan sah atau tidaknya
suatu ibadah. Tentu saja persyaratan itu hanya sifatnya lahiriah saja, tetapi
Tasawuf membicarakan persyaratan sah atau tidaknya suatu ibadah, sangat
ditentukan oleh persyaratan yang bersifat rahasia (batiniyah). Sehingga Ulama
Tasawuf sering mengemukakan tingkatan ibadah menjadi beberapa macam, misalnya
Taharah dibaginya menjadi empat tingkatan:
a. Taharah yang sifatnya mensucikan anggota badan yang nyata dari hadath dan
najis;
b. Taharah yang sifatnya mensucikan anggota badan yang nyata dari perbuatan
dosa;
c. Taharah yang sifatnya mensucikan hati dari perbuatan yang tercela;
d. Taharah yang sifatnya mensucikan rahasia (roh) dari kecendrungan menyembah
sesuatu di luar Allah SWT.
Karena Tasawuf selalu
menelusuri persoalan ibadah sampai kepada hal-hal yang sangat dalam (yang
bersifat rahasia), maka ilmu ini sering dinamakan Ilmu Batin, sedangkan Fiqh
sering disebut Ilmu Zahir.
3. Tasawuf Akhlaqi; yaitu Tasawuf yang menekankan pembahasannya pada budi
pekerti yang akan mengantarkan manusia mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat,
sehingga di dalamnya dibahas beberapa masalah akhlaq, antara lain:
a. Bertaubat (At-Taubah); yaitu keinsafan seseorang dari perbuatannya yang
buruk, sehingga ia menyesali perbuatannya, lalu melakukan perbuatan baik;
b. Bersyukur (Asy-Shukru); yaitu berterima kasih kepada Allah, dengan
mempergunakan segala nikmat-Nya kepada hal-hal yang diperintahkan-Nya;
c. Bersabar (Ash-Sabru); yaitu tahan terhadap kesulitan dan musibah yang
menimpanya.
d. Bertawakkal (At-Tawakkul); yaitu memasrahkan sesuatu kepada Allah SWT.
Setelah berbuat sesuatu semaksimal mungkin untuk mencapai tujuan;
e. Bersikap ikhlas (Al-Ikhlas); yaitu membersihkan perbuatan dari riya (sifat
menunjuk-nunjukkan kepada orang lain), demi kejernihan perbuatan yang kita
lakukan.
Ini baru sebagian
kecil saja akhlaq baik terhadap Tuhan yang kita bicarakan, tetapi pembicaraan
Tasawuf selalu menuju kepada pembahasan yang lebih dalam lagi, yaitu hingga
menelusuri kerahasiaannya. Jadi pembicaraan taubat, syukur, sabar, tawakkal dan
ikhlas, dibahas dengan mengemukakan indikasi lahiriyahnya saja, maka hal itu
termasuk lingkup pembahasan akhlaq; tetapi bila dibahasnya sampai menelusuri
rahasianya, maka hal itu termasuk Tasawuf. Sehingga dari sinilah kita dapat
melihat perbedaan Akhlaq dengan Tasawuf, namun dari sisi lain dapat dilihat
kesamaannya, yaitu keduanya sama-sama tercakup dalam sendi Islam yang ketiga
(Ihsan).
Pembagian Tasawuf yang
ditinjau dari lingkup materi pembahasannya, maka dapat menghasilkan Tasawuf
Aqidah, Tasawuf Ibadah dan Tasawuf Akhlaqi. Tetapi bila ditinjau dari sisi
corak pemikiran atau konsepsi (teori-teori) yang terkandung di dalamnya, maka
hal itu bisa menjadi Tasawuf Salafi, Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi.
Dalam Tasawuf Salafi
dan Tasawuf Sunni, system peribadatan dan teori-teori yang digunakannya, sama
dengan yang telah dilakukan oleh Ulama-Ulama Salaf, sehingga kadang-kadang
Tasawuf Sunni disebut juga Tasawuf Salafi. Lain halnya dengan Tasawuf Falsafi,
ajarannya sudah dimasuki oleh teori-teori Filsafat; misalnya dipengaruhi oleh
Filsafat Yahudi; Filsafat Kristen dan Filsafat Hindu. Maka tidak sedikit
ajarannya yang hampir sama dengan agama yang mempengaruhinya, terutama konsepsi
yang digunakan untuk mendapat hakikat ketuhanan; dengan istilah “Al-Hulul”
(larutnya sifat ketuhanan ke dalam sifat kemanusiaan), “Al-Ittihad” (leburnya
sifat hamba dengan sifat Allah), “Wihdatu al-Wujud” (menyatunya hamba dengan
Allah) dan sebagainya. Dan barangkali inilah yang dimaksudkan oleh orang-orang
yang mengatakan bahwa Tasawuf Islam itu tidak lain, kecuali hanya ajaran Mistik
umat-umat terdahulu, yang telah ditransformasikan oleh Ulama Tasawuf ke dalam
Islam. Tetapi tuduhan itupun dialamatkan pada Tasawuf Sunni dan Salafi, padahal
sebenarnya ajaran Tasawuf tersebut masih konsisten dalam ajaran Islam. Hanya
saja, barangkali ada tata caranya yang sudah dikembangkan oleh Ulama Tarekat
pada masa sesudahnya yang akhirnya tidak persis sama dengan Tasawuf yang telah
dipraktekkan oleh Ulama Sahabat dan Tabin di abad pertama dan kedua Hijriyah.
Tentu saja, perkembangannya itu hanya sekedar memenuhi tuntutan zaman yang
dilaluinya, sedangkan prinsipnya tidak bertentangan dengan pengalaman
Ulama-Ulama Salaf.
Dari uraian ini, dapat
disimpulkan bahwa kedudukan Tasawuf berada pada sendi Ihsan, yang berfungsi
untuk memberi warna yang lebih mendalam bagi sendi Aqidah dan sendi Syari’ah.
TASAWUF DI INDONESIA
Melihat perkembangan
Islam di Asia Tenggara; Indonesia, Malaysia dan lainnya sepuluh tahun
belakangan, salah satu pertanda paling mencolok adalah perhatian pada tasawuf
di samping segi sosial-politik Islam yang seringkali kontroversial. Kalau kita
memperhatikan laporan media-massa, kita akan mendapatkan betapa sering muncul
laporan mengenai perkembangan tasawuf itu, seolah-olah ada kecenderungan baru
cara keberagaman masyarakat yang beralih ke cara Sufistik.
Demikian yang sedang
merebak adalah sufi perkotaan. Fenomena baru itu terjadi karena makin banyak
santri-santri kota yang kian gemar mempelajari agama Islam. Secara historis,
aktivitas tersebut merupakan pemodernan dari gerakan tasawuf sebelumnya. Dengan
kata lain, orang ingin mempelajari tasawuf secara sungguh-sungguh dan tak lagi
menganggap sesuatu yang kerap dipandang sebagai kekunoan, itu sebagai kajian di
luar Islam.
Sesederhana apa pun, aktivitas
ketasawufan di perkotaan bisa dianggap sebagai kebangkitan tasawuf. Itu karena
masyarakat jenuh pada ibadah-ibadah yang hanya mengejar legalisme dan
formalisme. Ketakinginan hidup dalam kehampaan spiritual, kehilangan visi
keilahian, dan kerusakan moralitas juga turut mendorong kebangkitan tasawuf di
perkotaan. Namun, segala sesuatu ada sejarahnya. Tasawuf sebenarnya muncul
sebagai solusi krisis. Pertamakali tasawuf muncul di dunia Islam, ketika dunia
Islam dilanda oleh materialisme, pada generasi tabi’in diperiode Umayah. Ketika
materialisme melanda kaum muslimin di masa tabi’in, maka munculah Hasan al
Basri yang menawarkan paradigma lain, lahir berikutnya al Gazali dan lain
sebagainya.
Jadi setiap kali ada
krisis, akan muncul sufisme. Di Indonesia juga begitu, ketika krisis melanda
Indonesia 1997, maka fenomena tasawuf menjadi luar biasa, buku tasawuf dan
majalah semacam Cahaya Sufi ini laku keras yang dibarengi dengan kemunculan
Arifin Ilham, AA Gym, Ary Ginanjar, Amin Syukur dan masih banyak nama lain
pengusung tasawuf. Semua itu berangkat dari kebutuhan psikologis secara massal.
Akan tetapi perlu
ditegaskan bahwa mereka yang meminati tasawuf sekarang ini masih baru dalam
kerangka defensif saja. Mereka galau menjalani realitas kehidupan, kemudian
mereka menemukan tasawuf dan merasa cocok dengan tasawuf karena tasawuf dirasa
memberi solusi yang mereka cari selama ini.
Jangankan kita umat
Islam, psikolog-psikolog Barat sekarang ini banyak yang masuk ke wilayah
kecerdasan spiritual, yang sebenarnya merupakan wilayah tasawuf. Tapi karena
pengaruh budaya sekuler, kecerdasan spiritual yang mereka miliki hanya
melayang-layang saja dan tidak akan pernah menukik menyelesaikan masalah.
Sebenarnya pertama
Islam masuk ke wilayah Melayu (Indonesia-Malysia) sudah bernuansa sufistik.
atau dengan kata lain: Islam tasawuflah yang mula-mula berkembang dan mewarnai
Islam di Indonesia-Malaysia pada tahap-tahap awal. Hampir mayoritas sejarawan
dan peneliti mengakui bahwa penyebaran Islam yang berkembang secara spektakuler
di negara-negara Asia Tenggara berkat peranan dan kontribusi tokoh-tokoh
tasawuf. Hal itu disebabkan oleh sifat-sifat dan sikap kaum sufi yang lebih
kompromis dan penuh kasih sayang. Tasawuf memang memiliki kecenderungan yang
tumbuh dan berorientasi kosmopolitan, tak mempersoalkan perbedaan etnis, ras,
bahasa, dan letak geografis.
Itulah sebabnya
“misionarisasi” yang dilakukan kaum sufi berkembang tanpa peran. Keberhasilan
itu terutama ditentukan oleh pergaulan dengan kelompok-kelompok masyarakat dari
rakyat kecil dan keteladanan yang melambangkan puncak kesalehan dan ketekunan
dengan memberikan pelayanan-pelayanan sosial, sumbangan, dan bantuan dalam
semangat kebersamaan dan rasa persaudaraan murni.
Kaum sufi itu ibarat
pakar psikologi yang menjelajahi segenap penjuru negeri demi menyebarkan
kepercayaan Islam. Dari kemampuan memahami spirit Islam sehingga dapat
berbicara sesuai dengan kapasitas (keyakinan dan budaya) audiensnya itulah,
kaum sufi kemudian melakukan modifikasi adat istiadat dan tradisi setempat
sedemikian rupa agar tidak bertentangan dengan dasar-dasar Islam.
Dengan kearifan dan
cara pengajaran yang baik tersebut, mereka berhasil membumikan kalam Tuhan
sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Misalnya, mengalihkan kebiasaan
“begadang” penduduk yang diisi dengan upacara ri-tual tertentu, saat itu
menjadi sebuah halaqah zikir. Dengan kearifan serupa, para dai membolehkan
musik tradisional gamelan yang merupakan seni kebanggaan kebudayaan klasik
Indonesia dan paling digemari orang Jawa untuk mengiringi lagu-lagu pujian
kepada Nabi Muhammad SAW.
Maka tak salah bila
HAR Gibb menyebut keberhasilan metode dakwah pembauran yang adaptif dan bukan
konfrontatif itu sebagai keberhasilan paling spektakuler di kawasan
AsiaTenggara.[18]
Adapun kemunculan
tasawuf yang dimotori oleh gerakan-gerakan tarekat yang ditandai dengan
kemenyendirian para pengikut di beberapa pedesaan. Secara historis, itu
berkaitan dengan politik isolasi yang dilakukan penjajah. Tindakan tersebut
mendorong para pengikut tarekat menarik diri dari kehidupan perkotaan,
menyingkir ke gunung-gunung, dan akhirnya mendirikan padepokan-padepokan atau
pesantren-pesantren di tempat-tempat sunyi. Mereka melepaskan diri dari
kehidupan politik, sosial, dan budaya perkotaan.
Kini, setelah
kehidupan kian modern, rupa-rupanya terjadi perubahan yang mencolok.
Sebagaimana pesantren-pesantren yang menyerbu perkotaan, tarekat tasawuf pun
makin memosisikan diri sebagai bagian kehidupan perkotaan. Namun ada perbedaan
paradigma antara tasawuf pedesaan dan perkotaan, bahwa tasawuf di pedesaan
lebih menekankan kepada amaliyah, sedangkan tasawuf di perkotaan lebih mengarah
kepada penghayatan nilai-nilai agama. Ia lebih tampil sebagai aktivitas yang
berkaitan dengan penghilangan penyakit-penyakit hati dan refleksinya bermuara
kepada moralitas
Perlu diketahui bahwa
tasawuf adalah bagian terpenting dalam Islam, umpama ruh bagi jasad atau
jantung bagi anggota tubuh lain. Maka jika tasawuf dipisahkan dari sisi amal
atau keyakinan yang sahih, jelas akan menjadi sebuah kemusyrikan, kekafiran dan
bid,ah sesat.
Kemudian, misi yang
dibawa Rasulullah Saw seara garis besar ada tiga unsur:
Ta’lim, Pengajaran Ilmu Pengetahuan.[19]
Tadzkirah atau
mauidzah, pemberi peringatan dalam bentuk ceramah keagamaan. Tazkiyah atau
tarbiyah, bimbingan dan keteladanan (Qudwah). Ketiga misi ini telah menjadi
ciri utama dai dan ulama Islam terdahulu yang tidak terpisahkan, setiap mereka
adalah seorang guru, penceramah dan pembimbing. Meskipun secara prioritas
mereka memilih menekuni salah satu bidang tertentu, namun kapabilitas mereka
dalam ketiga unsur ini tidak diragukan.
Seorang yang pandai
ilmu pengetahuan (alim) boleh jadi tidak pandai ceramah dan tarbiyah, namun
seorang penceramah (mudzakir) harus alim meskipun bukan seorang murobi. Adapun
seorang murobi wajib alim di samping juga harus seorang mudzakir. Jadi tasawuf
dalam posisi ini adalah sebagai tazkiyah, yang pelakunya harus memenuhi dua
syarat di atas, sebagai orang alim dalam ilmu keIslaman dan mudzakir yang
pandai membangun komunkasi dakwah kepada seluruh masyarakat.
Namun realitanya, para
dai dan ulama sekarang belum memenuhi syarat untuk menciptakan masyarakat yang
membangun, baru sampai ke taraf membangun masyarakat. Para murobi yang tampil
mengusung tasawuf bukanlah dari mereka yang telah mencapai puncak kecerdasan
intelekual, emosional juga spiritual atau kesusksesan ilmu pengetahuan,
penguasaan retorika dan suri teladan. Akan tetapi mereka masih mentah dalam
bidangnya, mereka meminati tasawuf masih dalam kerangka defensif. Karena mereka
memasuki tasawuf dimulai dari kegalauan dalam menjalani realitas kehidupan,
kemudian menemukan dan merasa cocok dengan tasawuf yang dirasa memberi solusi
yang mereka cari selama ini, bukan dari proses tarbiyah intensif di tangan
seorang murobi yang mempunyai otoritas dari pendahulunya sehingga mata rantai
itu sampai kepada Rasulullah SAW.
Jadi bangsa ini
memerlukan tasawuf bukan sebagai ajaran (pemikiran) dan wejangan belaka, akan
tetapi lebih memerlukan kepada sosok pribadi sebagai suri teladan akhlak dan
qudwah dalam nilai-nilai spiritual Islam.
Bangsa ini butuh
pemimpin besar. seorang yang mampu berfikir, merasa, dan cita rasanya itu
melampaui sekat-sekat ruang dimana ia berada, waktu dimana ia hidup. Karenanya
si orang besar harus berfikir 50 tahun kedepan atau 100 tahun kedepan. Kalau
dia berbuat dia menyadari bahwa yang diperbuat itu juga akan ditonton dan
direspon oleh 200.000.000 orang.
Seorang besar yang
setelah menguasai ilmu pengetahuan dan retorika, ia juga punya ghiroh
(semangat) tasawuf yang akan secara alami merontokkan penyakit nasional seperti
korupsi, maksiat dan lain sebagainya.
Karena korupsi dan
segala bentuk maksiat di Indonesia sudah menjadi konsep dan budaya. Semua orang
korupsi dan tidak merasa bersalah; ah yang lain juga begitu!. Nah ini harus
diatasi dengan contoh pemimpin yang diikuti dengan peraturan, tetapi untuk
masyarakat kita keteledanan yang tinggi itu lebih efektif ketimbang
demokratisasi. Seperti pilkada, tidak melahirkan banyak manfaat, karena orang
masih bisa dibayar, tetapi keteladanan pemimpin itu sangat efektif. Dan itu
yang dicari anak-anak muda sekarang.
Kiranya untuk konteks
kekinian, hanya pemimpin yang bertasawuf saja yang dapat memberikan keteladanan
pada generasi mendatang. Sehingga pendekatan sufistik di era sekarang ini tidak
lagi pada mencari jalan keselamatan dan keuntungan materi, lebih dari itu sebuah
pendekatan sufistik yang dapat menciptakan masyarakat yang mampu membangun masa
depan.
TASAWUF DALAM
PERKEMBANGAN MODERN
Ulama sufi
memandang alam semesta sebagai makrokosmis sama dengan mikrokosmis. Manusia
adalah dunia miniatur mikrokosmos yang merupakan cerminan makrokosmos, hukum
alam mengatur seluruh manusia sehingga perbedaan antara ruh dan materi terhapus
karena pada level sub-atom materi adalah kegelapan yang tidak mempunyai
keberadaan nyata [20].
Kenyataannya memang sesuatu yang besar itu (makrokosmis) tersusun dari segala
sesuatu yang kecil-kecil (mikrokosmis) yang membentuk suatu ikatan makro dan
saling terkait. Para sufi dalam memahami hal tersebut melalui suatu pengalaman
mistis “penyaksian” yang dalam bahasa mereka sebut sebagai “musyahadah” atau
“ma’rifat”, seperti yang mereka katakan, yaitu barangsiapa ma’rifat ( terhadap
) Allah Subhaanahu Wa Ta’ala akan dikokohkan oleh keabadian dan dunia seisinya
terasa sempit [21].
Perkembangan ilmu fisika modern selaras
dengan pemikiran kaum sufi. Awal abad kedua puluh, fisika modern telah banyak
dan begitu cepat mempengaruhi kehidupan manusia. Terutama dalam fisika atom
yang dengan cepat banyak berdiri industri yang menggunakan dasar teori atom
tersebut, sehingga alam semesta beserta isi dan segala fenomena yang ada di
dalamnya mengenai struktur kosmologis dapat dipandang melalui teori fisika dan
tasawuf. Terdapat titik-titik kesejajaran ketika memasuki dimensi dunia mistik
religius dan fisika modern dalam memandang alam semesta.
Pengaruh perkembangan fisika modern
tersebut juga menyentuh dalam pola pikir dan kebudayaan manusia. Perkembangan
fisika modern tidak lepas dari perbaikan / revisi secara radikal terhadap
fisika klasik (Newtonian) terutama pada bidang materi, ruang dan waktu, serta
sebab akibat (kausalitas) yang menuju ke arah pemikiran yang bersifat mistis
(abstrak), sehingga memunculkan metafisika.
Werner Heisenberg mengungkapkan seperti
yang dikutip oleh Frtjof Capra dalam Tao of Physics, sebagai berikut :
Konstribusi ilmiah yang terbesar dalam fisika teoritis berasal dari Jepang
sejak perang berakhir merupakan suatu indikasi dari bertemunya hubungan khusus
antara ide-ide filsafat dalam tradisi Timur Jauh dan substansi filsafat dari
teori quantum [22].
Keparalelan antara pemikiran dalam
tasawuf dengan fisika modern yang menyebabkan adanya titik temu dan hubungan
terjadi karena tasawuf didasarkan pada pemahaman langsung ke dalam alam
realitas, sementara fisika didasarkan atas observasi terhadap fenomena-fenomena
alam dan eksperimen-eksperimen ilmiah yang diinterpretasikan dan
dikomunikasikan lewat kata-kata, dimana kata-kata tersebut terlampau abstrak
ketika berdekatan dengan realitas yang menyebabkan kesadaran akan fakta inilah
yang menjadi titik temu antara fisika modern dan sufi[23].
Nilai-nilai tasawuf yang mewarnai fisika
modern yang ingin penulis ungkapkan dalam hal ini berhubungan dengan alam
semesta terutama mengenai ruang dan waktu serta penyatuan dalam keberagaman
sehingga dapat memperlihatkan bahwa dalam perkembangan fisika modern tidak
terlepas dari etika-etika agama. Kita menyadari bahwa perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dewasa ini telah membawa kepada pemikiran manusia
seolah-olah dialah penguasa alam semesta karena dengan ilmunya manusia dapat
mengendalikan alam lingkungannya dan berbuat semaunya untuk menguasai orang
lain.
Tasawuf yang menekankan pada aspek
pensucian hawa nafsu yang bertujuan untuk mengenal dan mencintai sang pencipta
dan penguasa alam semesta, sebenarnya banyak sekali nilai-nilainya yang
terkandung dalam fisika modern, sebagaimana yang telah dikatakan di atas
mengenai materi dalam level subatom atau dunia
mikrokosmos, walaupun para fisikawan barat dalam memahaminya bersentuhan dengan
mistis diluar Islam (Hindu, Budha, Zen, Tao dan lain-lain), maka penulis
mencoba untuk mengungkapkannya melalui pemikiran-pemikiran Islam (tasawuf)
misalnya fana’, baqa’, Jam’u dan lain-lain. Hal ini diharapkan dapat membuka wawasan terhadap pencinta
fisika terutama muslimin dan muslimah agar dalam mempelajarinya tidak sebatas
pada keilmuannya, tetapi lebih jauh dari itu untuk lebih mengenal dan
mendekatkan diri pada Allah Subhaanahu Wa Ta’ala. Oleh karena itu penulis
mencoba untuk mengungkapkan keparalelan tasawuf dan fisika modern dalam
“Nilai-Nilai Tasawuf Dalam Perkembangan Fisika Modern”.
Segala ilmu yang
diperlukan manusia itu tersedia di dalam Al-Qur’an, meskipun secara garis
besarnya saja, yang rinciannya dapat ditemukan pada Sunnah Rasul bagi ilmu
keakheratan dan dalam alam semesta bagi ilmu keduniaan. Wajib bagi setiap
muslim dan muslimah untuk mencari dan memperdalam ilmu sesuai dengan bidang dan
kemampuannya agar dapat menjalankan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi ini.
Seorang muslim atau muslimah tidak boleh hanya mengutamakan ilmu keakheratan
saja atau ilmu keduniaan saja, keduanya harus ada pada diri ummat Islam
walaupun proporsinya tidak seimbang atau dominasi salah satunya.
Al-Qur’an secara
global telah banyak membicarakan tentang ilmu pengetahuan alam dan teknologi,
maka untuk mengetahui secara pastinya kita harus memiliki ilmu kealaman melalui
pemahaman dan pengertian tentang alam semesta beserta sifat dan fenomenanya.
Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah
lapangan kegiatan yang terus menerus dikembangkan karena mempunyai manfaat
sebagai penunjang kehidupan manusia.
Allah Subhaanahu Wa Ta'ala memberikan
akal pada manusia agar dengan akal ini manusia bekerja dengan giat memikirkan
secara serius dan mendalam tentang segala sesuatu dan segala peristiwa dalam
jagad (universum) ini baik dengan metoda induksi maupun deduksi sehingga
dicapai hakekat-hakekat yang lebih tinggi untuk kemudian ditingkatkan lagi
sehingga manusia dengan akalnya itu dapat mengenal kebenaran yang tertinggi
yaitu Allah Rabbul ‘Alamien.
Alam semesta yang
diciptakan Allah Subhaanahu Wa Ta'ala adalah sebuah laboratorium yang maha
lengkap yang penuh berisi pertanda ke-Mahaan Allah Subhaanahu Wa Ta'ala yang
telah merancang, mencipta, memelihara dan kelak mengambilnya kembali.
Laboratorium yang maha lengkap ini tidak akan berfungsi dan tidak akan menjadi
dinamis bagi kehidupan manusia apabila manusia tidak mau merenungi dan
memikirkan untuk mengolahnya. Manusia sebagai penggali dan pencari ilmu
pengetahuan tidak cukup hanya dengan membaca saja tanpa berfikir. Dalam
Al-Qur’an, manusia didorong untuk menggunakan akalnya dan banyak berfikir.
Manusia mencari ilmu
pengetahuan kebanyakan berangkat dari hasil rangsangan-rangsangan yang
ditangkap oleh indera lahiriah, dan setelah sampai di otak diurai menurut ilmu
pengetahuan yang ada padanya kemudian dalam beberapa hal akan tiba pada titik
ketidakmampuan otak untuk mengurai, karena rasionya sudah tidak dapat
menjangkau lagi atau bukan lagi menjadi medan rasio. Namun demikian ilmu
pengetahuan kealaman dalam hal mencari hakikat haruslah berangkat dengan
keyakinan yang mantap terlebih dahulu, yakin bahwa manusia memiliki kemampuan
terbatas serta sadar bahwa rasio manusia begaimanapun tingginya dan besar
nilainya hanya sekedar pelengkap saja untuk mencapai hakikat. Keterbatasan akal
atau rasio menunjukkan bahwa apa yang tidak rasional belum tentu tidak benar,
kebenaran ayat-ayat Al-Qur’an hingga kini dapat dikaji di dalam ilmu fisika, astronomi,dan kosmologi.
Fisika adalah ilmu yang mempelajari
struktur dasar dan proses perubahan yang terjadi pada materi dan energi dan
juga menyelidiki fenomena terutama yang diamati dari benda-benda tak bernyawa.
Al-Qur’an menaruh perhatian sangat besar kepada ilmu tersebut seperti nampak
dalam uraiannya tentang alam Ilahi yang amat menakjubkan, seperti sifat-sifat
ruang dan waktu, materi serta gerakannya.
TASAWUF DAN ETOS KERJA[24]
Menghindari pebuatan
dosa itu dimaksudkan supaya orang dalam bekerja tidakmengerjakan pekerjaan yang
haram, seperti mencuri, merampok, korupsi, penyelundupan uangdan sejenisnya.
Karena semua orang harus bekerja dan mencari rizki dengan mengerjakanpekerjaan
yang halal
Begitu pula Zuhud. Zuhud
berarti hidup sederhana, maksudnya setiap orang harus hidup scara wajar sesuai dengan keperluannya. Jadi, tidak boleh boros,
menghambur-hamburkan harta yang dimiliki atau menggunakan
hartanya untuk berbuat maksiat.
Dengan demikian, Zuhud
tidak berarti tidak perlu kerja keras mencari uang. Bekerjakeras itu boleh,
malah wajib kalu diniatkan mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga. Tetapi setelah uang itu diperoleh tidak boleh dihamburkan
atau membuat lupa pada Tuhan, seperti tidak mengeluarkan
zakat atau meninggalkan shalat dengan alas an sibukbekerja.
Kemudian Qanaah. Ini
berarti merasa cukup. Harta yang diperoleh diusahakan cukupuntuk memenuhi
keperluan hidup, walau sebenarnya pendapatannya kecil. Belanjaanya
tidakmelebihi pendapatanya jangan sampai lebih besar pasak dari pada tiang.
Kalau orang hidup yang
berpegang kepada pribahasa lebih besar pasak dari pada tiang, maka akan timbul banyak kesulitan yang merepotkan diri sendiri. Misalnya
berhutang ataumeminta uang pada orang lain atau bahkan mencuri, korupsi dan
perbuatan tercela lainnyauntuk memenuhi keperluan hidup.
Jadi, Qanaah tidak
berarti tidak perlu bekerja keras mencari uang. Orang boleh sajabekerja keras
tetapi berapapun hasilnya diusahakan cukup agar tidak timbul efek samping
yangnegative. Siakp Qanaah dimaksudkan agar orang tidak mencari uang yang haram
karenapekerjaan halalnya tidak menghasilkan uang sebanyak yang diperlukan.
Lalu Faqr, yang berarti
kemiskinan. Maksudnya manusia pada dasarnay miskin, tidakmempunyai apa-apa.
Kalau orang itu kaya, pada dasarnya harta yang dimilikinya adalah
milikTuhanyang dititipkan kepadanya. Sebaliknya, kalau orang itu hidup miskin
tidak boleh berkeluhkesah sambil menyalahkan orang lain atau Tuhan.
Kalau mau menyalahkan
lebih baik menyalahkan kepada diri sendiri. Sebab hidup miskin mungkin disebabkan oleh kelemahan dan kesalahan diri sendiri. Mungkin diri
kita bekerjanya belum sungguh-sungguh, tidak disiplin,
atau pekerjaannya memerlukan keterampilan khusus yang belum kita kuasai.
Artinya Faqr tidak
berarti bahwa setiap orang sebaiknya hidup miskin, sehingga seolah- olah tidak harus bekerja keras dalam mencari uang. Padahal setiap orang
haruslah bekerja keras, tetapi kalau hasilnya sedikit,
tidak memenuhi keperluan hidup, sehingga terpaksa hidup miskin, maka kenyatan itu harus diterima secara ikhlas sebagai takdir Tuhan
yang tidak bisa ditolak. Karena mungkin Tuhan memang sudah
mentakdirkan sebagai seorang yang hidupmiskin dan mungkin Tuhan menyimpan satu
keistimewaan kepadanya.
Dan takdir seperti ini
harus diterima dengan ikhlas, karena tentu dibalik semua itu pastiada
hikmahnya. Misalnya kalau orang miskin ini menjadi kaya mungkin saja dia akan
lupakepada Tuhannya. Padahal kalau dia miskin mungkin sekali selalu beribadah
dan berusah untukmendekatkan diri kepada Tuhan, seperti cerita Tsalabah.
Tsalabah adalah seorang
sahabat Nabi Muhammad SAW yang miskin. Dia rajinberibadah bersama Nabi. Suatu
ketika dia meminta nabi untuk mendoakannya kepada Allahagar dia menjadi orang
yang kaya. Lalu Nabi bertanya: apakah kamu siap menjadi orang kaya.Karena nabi
khawatir nanti setelah kaya Tsalabah akan lupa beribadah. Tsalabah punmenyatakan
siap. Kemudian Nabi berdoa, sehingga usaha Tsalabah berkembang pesat danmenjadi
orang kaya. Setelah kaya kekhawatiran Nabi menjadi kenyataan. Tsalabah
seringmeninggalkan ibadah. Tuhanpun kemudian murka dan usaha Tsalabah merosot
dan padaakhirnya kembali menjadi orang miskin.
Dan kemudian tentang
kebiasaan membaca Wirid, Zikir, dan Doa yang menghabiskanwaktu berjam-jam itu
kita dapat menerapkan sistem pembacaan Wirid, Zikir, dan Doa secaraberkala
seperti Thorikat Naqsabandiyah yang melakuka Wirid di seperempat malam
padatanggal enam belas bulan komariyyah setiap bulannya.
Jadi, untuk masalah ini
kita dapat mengaturnya supaya tidak berbenturan dengan jadwal kerja, kita bisa melakukannya setiap libur kerja atau dikala waktu leggang
dan waktu-waktu yang sekiranya tidak berbarengan dengan
waktu keraja kita.
Jadi jelaslah bahwa
tasawuf tidak melemahkan etos kerja. Bahkan kalau diingat bahwatasawuf itu
mendekati orang yang membersihkan dirinya dari perbuatan tercela atau
sebagaipagar pembatas diri terhadap perbuatan jahat (mazmumah). Lalu
mengisinya dengan perbuatan terpuji (mahmudah),
maka dapat dikatakan bahwa tasawuf menimbulkan etos kerja yang kuat. Karena di antara perbuatan terpuji itu adalah mencari nafkah
untuk memenuhi keperluan diri sendiri dan keluarga.
Itu berarti bahwa orang
yang bertasawuf harus bekerja keras mencari nafkah. Jadi, kalau ada orang
mengaku bertasawuf, tetapi malas bekerja, maka tasawufnya keliru.
Dengan demikian, bila
masih ada sikap malas, tidak disiplin, tidak mau kerja keras dalam masyarakat Indonesia selayaknya tidak menyalahkan tasawuf, seperti kesan
yang berkembang selama ini. Faktor penyebab sikap negatif
itu bukan tasawuf, tetapi harus dicari faktor lain diluar tasawuf.
Pada dasarnya tasawuf
itu baik dan benar, tetapi persepsi orang terhadapnya seringkeliru. Ini
disebabkan oleh mentalitas masyarakat Indonesia yang sudah akibat sejarah
yangmenyakitkan selama ini. Mentalitas masyarakat yang rusak menyebabkan
persepsi terhadapajaran agama kadang-kadang keliru, seperti persepsi terhadap
tasawuf.
Karenanya, persepsi yang
keliru itu harus dilacak pada kerusakan sikap mentalmasyarakat mentalitas
masyarakat Indonesia mulai rusak ketika mengalami penjajahan selamaratusan
tahun. Penjajahan ini menyebabkan masyarakat menderita lahir batin, seperti
hidupmiskin, kecewa, frustrasi, setres, pesimistis, merasa masa depan suram,
dan sebagainya. Hal ini kemudian menghancurkan nilai-nilai yang
dihayati dalam masyarakat. Misalnya hal yang benar dianggap salah, orang baik dianggap pencuri, koruptor dianggap selebritis,
hamil diluar nikah dianggap keren, perselingkuhan dianggap
pekerjaan dan banyak lainnya.
Setelah dijajah sekian
lama, bangsa Indonesia bangkit melawan penjajah. Perjuanganbangsa Indonesia
membuahkan hasil dengan tercapainya kemerdekaan, tetapi perjuangan
itumemerlukan pengorbanan besar yang juga membawa penderitaan lahir batin.
Dimuali daripenjajahan bangsa lain hingga sistem pemerintahan yang dimulai dari
masa orde baru hinggamasa reformasi yang memiliki problem masing-masing yang
berimbas kepada penderitaan lahirbatin.
Penderitaa lahir batin
yang dialami masyarakat Indonesia yang sangat lama akibatpenjajahan, revolusi
keerdekaan, pergolakan, represi dan krisis yang berkepanjangan tidakhanya
merusak dan menghancurkan tatanan masyarakat, tetapi juga merusak mentalitas
dancara berfikir. Akibatnya nilai-nilai positif dari budaya dan agama sering
diresepsikan secarakeliru.
Seperti tasawuf ini yang
kebanyakan masyarakat Indonesia salah meresepsikannya.Tasawuf yang sebenarnya
mengandung etos kerja yang kuat dipersepsikan sebagai faktor yangmelemahkan
etos kerja. Dan untuk memperbaiki persepsi yang keliru ini selain
mentalitasmasyarakat yang perlu dibangun kembali kita juga perlu melakukan
reinterpretasi terhadapsikap-sikap dan ajaran tasawuf, seperti wara, zuhud,
qanaah, faqr, dan lainnya.
Memang ada diantara Sufi
atau pengikut tarekat yang bersikap eskapis, menjauhikehidupan dunia. Tetapi
hal ini bukan ajaran tasawuf. Sufi atau pengikut tarekat bersikap seperti ini karena terlalu berhati-hati agar tidak terjerumus dalam
perbuatan dosa. Sebab dalam mencari kehidupan dunia, orang
sering bergelimang dosa. Misalnya memperoleh rizki dengan cara yang haram atau syubhat. Sedangkan kehidupan para Sufi itu kaki
kanan berjalan di atas wajib kaki kiri berjalan di atas
sunah.
Lagi pula menganggap
tasawuf itu melemahkan etos kerja itu bertentangan denganajaran dasar Islam
yang mewajibkan manusia bekerja seperti yang telah disebutkan diawalTugas
Mandiri ini. Padahal tasawuf sebagai bagian dari ajaran dasar agama Islam.
Kalau bertentangan dengan ajaran dasar Islam, maka berarti
tasawuf itu keliru atau persepsi terhadap tasawuf itu salah.
Dan menurut ajaran dasar
Islam, bekerja itu wajib, setidaknya untuk memenuhikeperluan diri sendiri,
keluarga dn umat. Tasawuf pun sejalan dengan ajaran dasar Islam,sehingga
tasawuf tidak melemahkan etos kerja, tetapi malah sebaliknya yakni memperkuat
etoskerja itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, Jakarta, Pustaka Firdaus
Departemen Agama R.I.,
2005. Al-Qur’an dan Terjemahnya. PT. Syaamil.
Drs. Barmawie Umarie,
1961, Sistimatik Tasawuf, Solo,Ramadhani
Fritjof Capra, The Tao of Physics, Yogyakarta, Jalasutra, 2001
H. Husnan Malik SH.
Esensi Tauhid Dan Syirik Dalam Islam. Dosen Metafisika UNPAB
Imam Al-Qusyairy
An-Naisabury, Risalatul Qusyairiyah, Surabaya, Risalah
Gusti
Jostein Gaarder, Dunia Sophie, Bandung, Mizan
Nur Hidayat, akhlak tasawuf. Tugas Mandiri di Sajikan Untuk
Mempelajari Lebih Dalam Tasawwuf. Jawa Timur
Prof. Dr. Harun
Nasution, 1973, Falsafah dan Mistitisisme dalam Islam, Jakarta, Bulan
Bintang
Prof.Dr.H.Abuddin
Nata, MA, 2006. Akhlak Tasawwuf . Jakarta. PT Raja Grafindo Persada
Sri Mulyati, 2006, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta,
Kencana
[1] Nur Hidayat, akhlak tasawuf. Tugas Mandiri di sajikan untuk
mempelajari lebih dalam tasawwuf. Jawa timur
[13] Prof. Dr. Harun Nasution, 1973, Falsafah dan Mistitisisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, hal. 57-58
[14] Sri Mulyati, 2006, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta,
Kencana, hal. 8
[24] Prof. Dr. Harun Nasution, 1973, Falsafah dan Mistitisisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, hal. 60-62
Komentar
Posting Komentar